Kamis, 25 Desember 2008

Revitalisasi Strategi Sosialisasi Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Kegiatan sosialisasi tidak masuk dalam sepuluh tahapan Pemilu 2009. Tetapi sosialisasi merupakan salah satu program yang dirancang untuk keperluan suksesnya pelaksana dan pelaksanaan pemilu. Sehingga adalah menjadi kepentingan bersama bagaimana caranya agar program sosialisasi yang dilaksanakan pada pemilu 2009 berlangsung efisien dan efektif.
Tulisan Bung Isa (M.Isa Gautama) dalam harian ini, pada tanggal 23 Desember 2008 yang berjudul sosialisasi pemilu merupakan bahagian partisipasi beliau untuk memperkuat konsepsi pelaksanaan program sosialisasi dengan memasukkan pendekatan strategi komunikasi transaksional dalam bahagian yang integral.
Sumbangsih pemikiran Bung Isa bagi saya dan KPU adalah penting, karenanya saya berkeinginan untuk mengadopsi pemikiran itu lebih proporsional agar penggunaan pendekatan komunikasi transaksional benar-benar menjadi warna baru dalam konsepsi strategi sosialisasi pemilu 2009. Untuk tujuan tersebut saya akan mengurai kembali beberapa bahagian tulisan yang menjadi bahan Bung Isa dalam menilai strategi sosialisasi yang diatur KPU.
Pengertian sosialisasi yang digunakan resmi oleh KPU dalam Peraturan KPU No.23 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Konsepsi proses penyampaian informasi atau sosialiasi pemilu tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold D Laswell berpendapat bahwa untuk melakukan komunikasi beberapa komponen harus tersedia. Komponen komunikasi lanjutnya adalah komunikator (orang yang menyampaikan informasi), informasi (bahan yang disampaikan), perantara (media yang digunakan), komunikan (orang yang menerima informasi), dan dampak/efek (suasana yang terjadi akibat terjadinya proses komunikasi, bisa baik atau buruk).
Kelima komponen komunikasi Laswell satu sama lain saling berhubungan, sehingga jika salah satu komponen terabaikan maka komunikasi tidak akan berlangsung. Namun tanpa mengurangi arti komponen yang lain, keberadaan komponen komunikator merupakan faktor utama yang harus memahami komponen lain seperti materi informasi, perantara/media, komunikan, dan dampak/efek.
Sehingga komunikator dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu atau dapat kita sebut penyuluh pemilu, harus memiliki pengetahuan kepemiluan sebagai sumber informasi, mengerti tentang pilihan media yang efektif, memahami kelompok sasaran dan dapat memprediksi dampak baik dan buruk akibat pelaksanaan sosialisasi.
Saya hanya bisa menduga, Bung Isa menganggap pendekatan komunikasi dalam melaksanakan sosialisasi pemilu masih bersifat linier dan tidak transaksional, pada dua hal : pertama, penggunaan isitilah penyuluh pemilu, dan kedua, ketika saya pada bahagian alinea berikutnya mewacanakan bahwa seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS berpotensi sebagai penyuluh pemilu.
Dugaan tersebut saya buat karena Bung Isa tidak menjelaskan lebih rinci pada bahagian mana pada tulisan itu yang mengesankan bahwa pendekatan komunikasi sosialisai pemilu 2009 masih linier. Dugaan tersebut juga saya buat tanpa mengurangi nilai penting dari sumbangsih pemikiran Bung Isa.
Saya sengaja menggunakan istilah penyuluh pemilu bagi komunikator pemilu, karena istilah penyuluh sudah lazim digunakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Dengan menggunakan istilah penyuluh diharapkan masyarakat cepat memahami peran yang dilakoni komunikator pemilu.
Kembali kepada pendapat Laswell, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan dasar berkomunikasi yang baik, memahami materi, mengenali kelompok sasaran, menggunakan media yang tepat, dan dapat menduga dampak yang muncul dari hasil komunikasi termasuk adanya umpan balik dari komunikan.
Menurut saya, seorang penyuluh tidak akan melakukan monopoli kebenaran dengan memposisikan dirinya sebagai sumber kebenaran. Akan tetapi sebagai komunikator, seorang penyuluh harus mampu menjelaskan tentang kebenaran informasi yang disampaikan. Dan menganalisis kebenaran fakta yang diterimanya di lapangan. Pada posisi tersebut, saya berpendapat seorang penyuluh akan mampu menggunakan pendekatan transaksional.
Dalam konteks sosialisasi pemilu, penempatan seluruh jajaran penyelenggara pemilu sebagai penyuluh pemilu adalah hal yang tepat. Sebab, sebagai penyelenggara pemilu anggota KPU, PPK, PPS dan KPPS harus memahami program dan tahapan pemilu lebih baik dari pihak lain. Karena dalam proses rekrutmen tenaga penyelenggara harus selalu memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang. Seperti persyaratan pendidikan minimal SLTA, memiliki wawasan mengenai kepemiluan dan ada prioritas bagi yang memiliki pengalaman.
Apalagi KPU, PPK dan PPS sebagai penyelenggara pemilu memang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sosisalisasi kepada masyarakat sesuai dengan pasal 8 ayat 1 huruf q, pasal 9 ayat 1 huruf n, pasal 10 ayat 1 huruf o, pasal 44 huruf l, dan pasal 45 huruf p undang-undang No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Di samping itu, daya jangkau penyelenggara pemilu langsung menyentuh masyarakat dengan merata.
Aturan tersebut membuka peluang bagi KPU melakukan revitalisasi strategi sosialisasi, terutama yang berhubungan dengan prioritas pelaksana sosialisasi dari menghandalkan kekuatan masyarakat sipil pada pemilu 2004 menjadi pengoptimalisasi jajaran penyelenggara pemilu hingga tingkat PPS pada pemilu 2009.
Tetapi undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat (pasal 244 ayat 1). Partisipasi masyarakat yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu (pasal 244 ayat 2).
Penerapan UU No.10/2008 tersebut, menjadi dasar KPU melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luas sebagai pelaksana sosialisasi. Batasan masyarakat pada konteks ini dapat dimaknai berasal dari perorangan, komunitas, organisasi kemasyarakatan dan organisasi non pemerintah.
Pada bahagian lain, undang-undang No.2 tahun 2008 tentang partai politik juga mengatur kewajiban partai politik untuk melakukan pendidikan politik (pasal 13 huruf e) di samping melakukan kegiatan sosialisasi program kerja partai politik. Pihak partai politik dan politisi merupakan pemangku kepentingan (stakeholders) utama bagi terselenggaranya sosialisasi pemilu yang efektif dan efisien karena berhubungan langsung terhadap perolehan suara mereka.

Kesimpulan
Pertama, sesungguhnya apa yang disebut Bung Isa dengan istilah tiga pilar pemilu (KPU, peserta pemilu, dan pemilih), secara mendasar telah diakomodasi undang-undang untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu. Dasarnya adalah UU No.22/2007 untuk KPU, UU No.2/2008 untuk partai politik, dan UU No.10/2008 untuk masyarakat/pemilih.
Kedua, siapa pun berpotensi untuk menjadi komunikator pemilu atau penyuluh pemilu. Tetapi sebagai penyelenggara pemilu KPU beserta jajarannya harus lebih potensial menjadi komunikator pemilu karena tanggungjawabnya.
Ketiga, dengan kemampuan yang dimiliki personil jajaran KPU, penerapan pendekatan komunikasi dengan model transaksional bukan merupakan hal yang baru. Karena setiap kali menjalankan tugas, PPK, PPS dan KPPS berhubungan langsung dengan masyarakat. Sehingga model komunikasi yang terbangun dapat dipastikan tidak lagi linier tapi sudah transaksional. Apalagi masyarakat minangkabau sudah terbiasa dengan dialog, seperti yang biasa terlihat pada suarau dan lapau.
Keempat, revitalisasi strategi sosialisasi telah dilakukan KPU paling tidak pada dua hal, yaitu perubahan pelaku utama komunikator sosialisasi dan penyempurnaan konsepsi sosialisasi yang tertuang pada peraturan KPU No.23 tahun 2008.
Andai kata masyarakat juga secara sukarela mau menjadi relawan penyuluh pemilu, maka mungkin pada pemilu 2009 mendatang, tidak akan lagi keluhan tentang sosialisasi yang kurang. Jika kegiatan sosialisasi telah berjalan secara maksimal, sedangkan partisipasi pemilih masih saja belum memuaskan, maka wajarlah kiranya kita mempertanyakan faktor apa lagi yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih.

Selasa, 23 Desember 2008

Habis "curi start", terbitlah "matre"

Oleh : Husni Kamil Manik
Lima tahun yang lalu, pada saat masa kampanye belum tiba, pemberitaan media massa cetak dan elektronik gencar memberitakan kegiatan partai politik dan perorangan yang melakukan kegiatan “sejenis” kampanye tidak dalam jadwal kampanye yang telah ditetapkan bersama KPU dengan menggunakan istilah “curi start”.
Tema pemberitaan “curi start” dipergunakan untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa partai politik dan perorangan yang melaksanakan kegiatan “sejenis” kampanye itu telah melakukan kecurangan, sebab jadwal pelaksanaan tahapan kampanye sesungguhnya belum tiba.
Konfirmasi berita yang diperoleh dari pihak penyelenggara, biasanya menyebutkan bahwa kegiatan yang dilakukan bukanlah kampanye, kegiatan yang dilaksanakannya hanyalah pertemuan kader, rapat partai, pembekalan dan silaturahmi. Tetapi semua peserta pemilu berhasrat untuk melakukan hal yang sama sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Namun terkadang isu “curi start” berakhir dijalur hukum, misalnya Drs.Erman Ali yang melakukan kampanye sebelum masuknya jadwal kampanye. Pengadilan Negeri Payakumbuh menerbitkan putusan No. 15/Pid.B/2004 dengan amar putusan pidana denda sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) subsider 15 hari kurungan (Laporan Panwaslu Sumbar 2004).
Berdasarkan UU No.12/2003 tentang Pemilu, menyatakan bahwa kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya.
Kampanye pemilu dilakukan melalui : pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media massa cetak dan elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televise, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar perundang-undangan.
Seluruh jenis kegiatan kampanye tersebut dilakukan oleh peserta pemilu selama 3 (tiga) minggu dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Sempitnya waktu pelaksanaan kampanye pemilu 2004 ditenggarai sebagai alasan peserta pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye “curi start”.
Peraturan pelaksanaan kampanye pada Pemilu 2009 telah berubah, seiring terbitnya UU No.10/2008 tentang Pemilu yang menggantikan UU No.12/2003. Perubahan peraturan tersebut terletak pada jadwal pelaksanaan kampanye. Kegiatan kampanye telah boleh dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah partai politik dan perorangan dinyatakan sebagai peserta pemilu. Sementara penetapan partai politik sebagai peserta pemilu telah dilakukan pada tanggal 7 Juli 2009. Berarti waktu kampanye yang boleh silakukan hampir 9 (Sembilan) bulan.
Penjadwalan kampanye ini, berlaku untuk semua jenis kampanye kecuali untuk kampanye dengan metoda rapat umum yang bersifat terbuka. Perubahan aturan ini, membuka peluang bagi partai politik dan politisi untuk melakukan kampanye yang lebih panjang tanpa khawatir lagi terkena tuduhan “curi start”.
Akan tetapi, keleluasaan berkampanye yang diakomodir undang-undang belum termanfaatkan partai politik dan politisi secara menyeluruh. Beberapa fakta lapangan memperlihatkan adanya dominasi partai politik dan politisi tertentu dalam kegiatan kampanye. Misalnya pemasangan alat peraga kampanye di tempat-tempat strategis dan pemuatan iklan di media massa.
Partai politik dan politisi yang memiliki keuangan yang banyak, telah mendominasi pemasangan alat peraga kampanye di daerah perkotaan sampai daerah terisolir, dari ukuran bendera sampai ukuran bilbord yang biasa dipakai untuk iklan produk tertentu yang bersifat bisnis. Mereka juga telah mendominasi iklan media massa cetak dan elektronik. Dominasi mereka bahkan terkadang melampaui jumlah iklan bisnis yang termuat.
Fakta lain yang dapat dikemukakan adalah hingga 6 (enam) bulan kampanye boleh dilaksanakan, masih ada partai politik yang belum menyerahkan daftar Tim Kampanye dan nomor rekening kampanye ke KPU Sumbar.
Kemudian tidak adanya Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang diterima oleh kepolisian tentang kegiatan kampanye tatap muka yang bersifat tertutup. Fakta ini paling tidak terjadi hingga 5 (lima) bulan setelah kampanye boleh dimulai.
Kondisi ini sepertinya anti klimaks dengan isu yang berkembang pada pemilu 2004, tentang “curi start”. Dalam logika saya, kesempatan yang telah diberikan undang-undang akan termanfaatkan secara maksimal oleh partai politik dan politisi untuk berkampanye. Mereka harusnya sudah melakukan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat secara langsung, walaupun sifatnya masih terbatas. Tetapi hal tersebut tidak terjadi, kenapa?
Pertanyaan yang muncul tersebut, telah coba kami tanyakan kepada beberapa politisi di Padang, mereka menjawab bahwa kondisi tersebut terjadi karena perubahan perilaku masyarakat dalam menanggapi kegiatan politik khususnya kampanye, dan perubahan itu menghambat proses pelaksanaan kampanye. Perilaku yang dimaksud adalah respon masyarakat yang acap kali memberi syarat politisi yang datang dengan ukuran “material”, terutama dalam bentuk “cash money”.
Perilaku tersebut menjadi isu baru yang hangat diperbincangkan, karena menghambat para politisi yang tidak memiliki keuangan yang cukup. Sementara jumlah mereka mendominasi calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang bertarung pada pemilu 2009. Sebagai contoh seorang teman saya yang ikut mencalonkan diri untuk anggota DPRD Sumbar, mengatakan,”rekening kampanye saya sekarang (bulan Desember 2008) tinggal Rp.80.000 (delapan puluh ribu rupiah), sementara pemilu masih akan dilakukan 3 (tiga) bulan ke depan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi”.
Isu baru yang menyangkut tentang pelaksanaan kampanye ini, seakan menimbulkan kesan dengan semboyan “No Money, No Campaign”. Sehingga penambahan jadwal kampanye yang telah diatur dalam undang-undang hanya bisa dimanfaatkan partai politik dan politisi yang kaya, dan menimbulkan masalah bagi yang tidak memiliki keuangan yang memadai.
(Terbit di Harian Singgalang, 23 Desember 2008)

Minggu, 14 Desember 2008

Citizen Jurnalisme

Oleh : Husni Kamil Manik
Menyambut pelaksanaan Pemilu 2009, surat kabar harian, portal berita, stasiun televisi dan radio di Sumatera Barat telah berinisiatif menyediakan rubrik khusus menyangkut pelaksanaan program dan tahapan pemilu. KPU Sumbar memberikan apresiasi khusus terhadap inisiatif tersebut.
Namun rubrik pemilu tersebut sering kali hanya terisi materi berita dari Jakarta atau daerah di luar Sumatera Barat. Sepintas lalu, saya beranggapan kekurangan berita daerah tersebut disebabkan dua hal, kekurangan variasi nara sumber dan materi berita. Kedua penyebab ini timbul akibat kurangnya pengusaan materi pemilu anggota KPU Kabupaten/Kota, kurangnya ketrampilan menulis, dan kurangnya ketrampilan pemanfaatan IT.
Sesungguhnya banyak sekali yang menarik untuk diungkap oleh anggota KPU Kabupaten/Kota dalam proses pelaksanaan program dan tahapan pemilu 2009. Karena dalam pelaksanaan pemilu, peran KPU Kabupaten/Kota adalah implementator dari seluruh aturan yang telah diamanatkan undang-undang dan peraturan KPU.
Pengalaman saya berkunjung ke Kecamatan Mapat Tunggul Selatan Kabupaten Pasaman, untuk meninjau dari dekat kondisi daerah yang sulit dijangkau dengan kenderaan bermotor, menemukan betapa beratnya beban tugas yang dipikul penyelenggara pemilu mulai dari PPK, PPS dan KPPS. Untuk menjangkau ibu kota kecamatannya saja tidak dapat menggunakan kenderaan mini bus umum. Apa lagi untuk menjangkau pemukiman penduduk yang ada di Jorong-Jorong, ada yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki, kenderaan roda dua, kuda/kerbau dan rakit.
Penyelenggaraan pemilu di daerah seperti tersebut tentu menarik untuk diketahui publik, karena di sana nuansa pelaksanaan pemilu akan berbeda dengan di daerah perkotaan pada umumnya. Mulai dari pendataan pemilih hingga penghitungan suara mereka akan lakukan berdasarkan kemampuan dan kondisi daerah.
Selain unik pada cara menyelesaikan program dan tahapan pemilu, dinamika politiknya juga berbeda. Mungkin di sana tingkat kecurangan pemilu berpeluang lebih besar karena sulit untuk diawasi publik. Pada pemilu 2004 saja, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di salah satu TPS di Kanagarian Silayang disinyalir terjadi kecurangan.
Banyak pendekatan, peristiwa dan kondisi daerah yang menarik untuk dipublikasi pada daerah kabupaten/kota yang lain. Ibarat kata pepatah kita,” lain lalang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya”. Semua daerah memiliki kekhasan sendiri yang pantas untuk dijadikan informasi bagi daerah lain. Tinggal lagi bagaimana mengemasnya supaya yang menarik tambah menarik dan yang tidak menarik jadi menarik.
Dapat dikatakan bahwa kemasan yang menarik hanya bisa dihasilkan dari tangan yang memiliki ketrampilan dibidangnya. Bicara informasi perlu pengetahuan dan pengalaman komunikasi, perlu pengetahuan dan pengalaman jurnalisme, dan perlu penguasaan materi yang dijadikan objek informasi.
Jika dilihat dari potensi anggota KPU Provinsi/Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada periode 2008-2013, pengelolaan situs KPU Sumbar dengan pendekatan citizen jurnalisme adalah suatu hal yang tidak sulit. Karena latar belakang anggota KPU yang beragam dan ada yang langsung berhubungan dengan profesi jurnalis dan akademisi.
Dengan potensi yang tersedia tersebut, KPU Sumbar merencanakan suatu program penguatan pendekatan citizen jurnalisme berbasis anggota KPU. Program ini akan menempatkan setiap anggota KPU se Sumatera Barat mampu berkomunikasi melalui situs yang telah dibuat dengan program aplikasi yang diminati.
Hingga saat ini, masing-masing anggota KPU Sumbar telah memiliki situs pribadi (web log), seperti Marzul Veri, M.Mufti Syarfie, Desi Asmaret, Ardyan dan Husni Kamil Manik. Pengelolaan situs pribadi anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu pemilu diharapkan dapat berkembang dengan baik, sehingga dalam waktu dekat dapat membentuk suatu komunitas baru yang bertemakan pemilu.

Design IT KPU Sumbar

Oleh : Husni Kamil Manik
Pengelolaan situs KPU Sumbar merupakan abstraksi dari penggunaan system informasi teknologi (IT) yang telah membantu memperingan penyelesaian kegiatan kepemiluan di Sumatera Barat. Disebut abstraksi karena materi yang dimuat pada situs tersebut merupakan data statistik yang dihasilkan dari penggunaan aplikasi IT setiap program dan tahapan pemilu.
Sampai pada tahapan kampanye sekarang ini, KPU Sumbar telah menggunakan aplikasi IT pada tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi calon anggota DPD, pencalonan anggota DPRD, dan pengelolaan logistik.
Dalam menghadapi program dan tahapan berikutnya, KPU Sumbar merencanakan menggunakan beberapa aplikasi IT untuk keperluan pengelolaan biodata penyelenggara pemilu, biodata anggota partai dan calon anggota DPD, penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih. Keseluruhan hasil pengolahan aplikasi IT tersebut akan dimuat pada situs KPU Sumbar.
Situs KPU Sumbar yang beralamatkan http://www.kpu-sumbarprov.go.id/, selayaknya memuat menu lain bersamaan dengan data statistik pemilu di Sumbar. Menu lain itu adalah sejarah pemilu di Sumbar, kamus pemilu, perpustakaan pemilu, berita pemilu, opini pemilu, jaringan situs pemilu, dan ruang diskusi pemilu.
Khusus untuk menu berita pemilu, menurut saya situs KPU Sumbar perlu menggunakan metode citizen jurnalisme yang menghandalkan sumber berita daerah di Sumatera Barat. Untuk kepentingan tersebut, KPU Sumbar melatih anggota KPU dan staf sekretariat KPU Kab/Kota se Sumbar agar memiliki ketrampilan jurnalis dan pemanfaatan IT. Di samping itu, KPU Sumbar juga perlu mengajak para wartawan peliput pemilu untuk bisa menjadi mitra dalam pemanfaatan situs KPU Sumbar.

Selasa, 09 Desember 2008

Membidik Komunitas Blogger

Oleh : Husni Kamil Manik
Komunitas blogger di negeri jiran pantas berbangga, sebabnya diantara anggota komunitas blogger ada yang berhasil memenangkan pemilihan pada negara bagian asal domisili mereka pada Pemilu Malaysia 2008.
Mereka yang menang tersebut adalah Tony Pua Kiam Wee, yang bertarung memperebutkan kursi Parlemen di Petaling Jaya Utara, Selangor, berhasil memperoleh suara sebanyak 37.851 dari total suara yang masuk sebanyak 76.618. Perolehan suara Tony tersebut dua kali lipat dari perolehan Datin Paduka Chew Mei Fun yang dicalonkan partai yang berkuasa, Barisan Nasional.
Sementara di daerah pemilihan Rembau, Negeri Sembilan, Jeff Oii Chuan Aun berhasil meraup 30.493 suara, menggungguli Dr. Thor Teong Ghee dari Barisan Nasional yang mendapatkan suara sebanyak 14.247.
Pada mulanya Toni dan Jeff Oii dilecehkan oleh para pesaing politiknya, pasalnya adalah sebagai anggota komunitas blogger mereka menjadikan media internet sebagai alat komunikasi mereka dengan masyarakat. Para pesaing politik mereka masih beranggapan bahwa masyarakat pemilih di Negara Bagian Selangor dan Negeri Sembilan masih awam dalam memanfaatkan media internet.
Namun faktanya berkata lain, penggunaan media internet yang mereka lakukan efektif membantu pencitraan. Sama efektif dengan keberhasilan Barack “Husien” Obama menggunakan media internet dalam memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Siapa sebenarnya anggota komunitas blogger? Siapapun yang berminat menjadi anggota komunitas blogger dapat dengan mudah masuk komunitas tersebut, dengan syarat peminat memiliki blog pribadi yang dijadikan alamat dalam melakukan korespondensi. Blog berasal dari penggabungan kata web log yang berarti situs web yang mudah digunakan untuk tujuan penyampaian pemikiran, berinteraksi dengan orang lain, dan publikasi.
Blog memiliki beberapa fasilitas : pertama, medium penyampaian teks dengan muatan pemikiran, pendapat, informasi dan peraturan. Kedua, memungkinkan untuk melakukan dialog timbal balik dengan pengakses. Ketiga, menyediakan menu yang dapat memuat foto dan rekaman visual screming. Keempat, dapat menerima kiriman teks dan gambar melalui telepon selular
Dengan keragaman fasilitas yang terdapat pada blog, media ini dapat dijadikan alat sosialisasi yang lebih dinamis dari pada penggunaan website. Sebab informasi yang berkembang memungkin tidak hanya satu atau dua arah tapi bisa banyak arah. Dan tema-tema yang mungkin diwacanakan pun dapat lebih beragam dengan kemasan yang beragam pula.
Termasuk tema-tema kepemiluan yang telah disiapkan KPU yaitu kelembagaan penyelenggara pemilu, system pemilu, hak dan kewajiban pemilih, program dan tahapan pemilu, mekanisme hukum dalam pemilu, dan kegiatan pendukung lain dalam pelaksanan pemilu.
Memang pengguna blog (blogger) di Indonesia jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan blogger Malaysia apalagi Amerika Serikat. Tapi dari beberapa perkiraan para pengasuh komunitas blogger, jumlah blogger di Indonesia sudah mencapai jutaan orang. Angka ini masuk akal jika merujuk pada angka pengguna internet yang menurut ICT Watch telah mencapai 28-30 juta pengguna.
KPU dalam peraturan No.23 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah menetapkan sebelas kelompok sasaran pelaksanaan sosialisasi yaitu masyarakat umum, pemilih pemula, perempuan, pemuka pendapat, petani dan kelompok pekerja lainnya, wartawan, TNI/polri, partai politik, pengawas/pemantau pemilu, LSM dan pemilih dengan kebutuhan khusus.
Komunitas blogger dapat dimasukan dalam kelompok sasaran yang kesebelas yaitu pemilih dengan kebutuhan khusus. Secara legalitas komunitas blogger dapat menjadi kelompok sasaran sosialisasi.
Lebih lebih penting dari hal tersebut, komunitas blogger adalah kelompok sasaran strategis bagi KPU, karena mereka punya kemampuan spesifik dari kelompok sasaran lain. Mereka biasa membangun opini “baik atau buruk” dengan menggunakan media internet, dan bisa pula membangun atau merusak aplikasi teknologi informasi yang digunakan pihak lain di luar komunitas mereka.
Jika para politisi baik di Amerika, Malaysia atau bahkan di Indonesia telah menggunakan aplikasi blog dan mereka efektif merebut simpatik masyarakat, maka KPU sebagai penyelenggara dapat pula menggunakan aplikasi blog untuk menyampaikan informasi dan berinteraksi dengan masyarakat.
Apalagi dengan pertimbangan keragaman fasilitas blog, jumlah anggota komunitas blogger dan kemampuan mereka dalam pemanfaatan teknologi informasi, maka komunitas blogger merupakan mitra penting bagi suksesnya pelaksanaan pemilu 2009.
(Terbit dalam bentuk wawancara di Harian Postmetro, dan dalam bentuk tulisan di Harian Singgalang)

Kamis, 04 Desember 2008

Demam Democracy 2.0 dan Sosialisasi Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Istilah democracy 2.0 merupakan perpaduan antara situasi politik bernegara saat ini yang berkembang hampir di seluruh dunia yaitu demokrasi di satu pihak dan perkembangan dunia cyber yang meluncurkan tren (demam) generasi web 2.0 di pihak lain.
Asumsi yang diusung demokrasi 2.0 menyebutkan bahwa partisipasi warga negara dalam menjalankan mekanisme demokrasi baik menyangkut cara memilih pemimpin maupun membuat aturan dan kebijkan akan lebih luas dengan menggunakan medium internet.
Demam demokrasi 2.0 semakin populer ketika pada proses pemilihan Presiden Amerika Serikat, kandidat terpilih Barack “Husein” Obama secara efektif menggunakan medium internet tersebut secara efektif dalam merebut simpatisan dan penggalangan dana kampanye.
Keberhasilan Obama dalam menggunakan medium internet akan menjadi inspirasi bagi siapa pun yang ingin merebut simpati masyarakat. Demam demokrasi 2.0 akan dengan cepat mewabah ke seluruh dunia, menembus sekat-sekat negara. Tidak terkecuali di dalamnya warga Indonesia.
Walaupun menurut peneliti senior ICT Wacth, Donny BU pada Media Indonesia (1/12/08) bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 28 – 30 Juta orang atau sekitar 17,65% dari 170 juta jumlah pemilih yang terdata di KPU, tetapi mereka berasal dari latar belakang pendidikan dan ekonomi yang baik.
Pemanfaatan medium internet ini semakin hari kian berkembang, pada mulanya interaksi komunikasi yang dilakukan berbentuk surat (e-mail) berkembang menjadi berbentuk pesan-pesan singkat seperti SMS pada telepon selular.
Interaksi yang intensif telah pula menjadikan pengguna internet merasa membutuhkan suatu ikatan pertemanan. Hal tersebut membuat mereka merasa berada pada suatu komunitas baru dengan medium cyber. Beberapa komunitas baru yang sekarang dominan berinteraksi adalah komunitas blogspot, wordpress, friendster, dan facebook.
Masing-masing komunitas memiliki ciri-ciri tersendiri, misalnya blogspot yang memiliki beberapa fasilitas : pertama, medium penyampaian teks dengan muatan pemikiran, pendapat, informasi dan peraturan. Kedua, memungkinkan untuk melakukan dialog timbal balik dengan pengakses. Ketiga, menyediakan menu yang dapat memuat foto dan rekaman visual screming. Keempat, dapat menerima kiriman teks dan gambar melalui telepon selular.
KPU sejak pelaksanaan pemilu 2004 telah berupaya menyediakan layanan komunikasi dengan menggunakan medium internet. Sampai hari ini, pengguna internet masih bisa mengakses website KPU http://www.kpu.go.id/. Pada laman website tersebut dapat diperoleh informasi yang berhubungan dengan kelembagaan KPU dan pelaksanaan program dan tahapan pemilu.
Seiring dengan perkembangan tren teknologi infomasi dengan medium internet, sosialisasi pemilu masih bisa dikembangkan dari metode penyampaian informasi sepihak melalui website, juga dapat pula melakukan dialog bersama komunitas cyber yang sudah berkembang, seperti komunitas blogger.
Pendekatan sosialisasi dengan pengguna internet tersebut, selain bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai pemilu, juga dapat menjadi saluran kerjasama KPU dengan pengguna internet agar secara bersama-sama menjaga penggunaan internet pada pelaksanaan pemilu tidak terganggu oleh para hecker atau crecker luar negeri yang usil.
Jika para pengguna internet tersebut dapat memperoleh pemahaman pemilu melalui medium cyber ini dan dapat pula mempengaruhi satu orang pemilih yang lain, maka persentase pemilih yang telah menerima sosialisasi pemilu telah pula mencapai angka 35,30% dari pemilih terdaftar.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang)

Minggu, 30 November 2008

Prof.Djo, SIS dan Pilwako Padang

Oleh : Husni Kamil Manik
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwako) Padang yang dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2008 yang lalu sungguh fenomenal. Banyak tanggapan miring yang muncul berkenaan penyelenggaraan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Padang periode 2008 – 2014 yang datang dari perorangan maupun lembaga.
Salah seorang diantaranya adalah Prof.DR.H.Djoharmensyah Djohan, MA, yang saat ini menjadi sekretaris pribadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Prof.Djo menilai bahwa pelaksanaan pilwako Padang adalah yang paling buruk di seluruh Indonesia karena partisipasi pemilih sangat rendah, kurang dari 50%. Mengingat latar belakang keilmuan Prof.Djo dan posisi yang sedang disandangnya, akan dengan mudah masyarakat yang mendengar dan menyaksikan tayangan informasi tersebut menerima begitu saja pendapat yang disampaikan.
Pendapat yang sama dilansir lembaga survey Sumatera Barat Intelectual Society (SIS), mulai dari sesaat setelah penghitungan suara selesai di TPS. Hasil survey yang dilansir merupakan hasil perhitungan suara dengan metode quick count yang mereka laksanakan pada 82 TPS yang terletak pada 82 kelurahan dari 104 kelurahan yang ada di Kota Padang. Ekspose hasil quick count tersebut dilansir kembali secara lebih lengkap pada hari Minggu (26/10/2008) di Harian Padang Ekspres.
Kesimpulan survey SIS sangat mengejutkan banyak pihak tidak terkecuali kalangan penyelenggara pemilihan umum di Sumatera Barat. Angka golput (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya) mencapai 64,4%, ada 10.006 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dari 25.531 orang yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di 82 TPS yang di survey.
Berarti yang menggunakan hak pilih pada 82 TPS tersebut adalah 15.525 pemilih atau 60,81%. Angka golput yang sampai 64,4% tentu menjadi tanda tanya besar dari mana datangnya karena angka 10.006 pemilih dibanding 25.531 pemilih dikali seratus persen adalah 39.91%.
Pemaparan temuan survey SIS juga dengan mudah diterima masyarakat, karena lembaga ini intensif mengeluarkan hasil survey yang mereka lakukan secara reguler pada masalah-masalah yang sedang menjadi perhatian publik. Ditambah pula, hasil survey tersebut selalu dilansir pada salah satu Koran harian terbesar di Sumatera Barat.
Apalagi SIS dengan lantang memberi komentar akhir sebagai berikut : dari sisi pelaksanaan pilkada, tingkat partisipasi pemilih dan jumlah gol[ut dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan KPU Kota Padang. Untuk itulah KPU kota Padang harus mengaca dan mengevaluasi diri serta mengidentifikasi dalam pelaksanaan Pilkada Kota Padang kali ini.
Sepuluh hari setelah pemungutan suara, KPU Kota Padang menetapkan rekapitulasi penghitungan suara pilwako Padang pada tanggal 2 November 2008 yang lalu. Dari data lampiran Model DB1-KWK yang dibagikan setelah proses rekapitulasi hasil penghitungan suara dilaksanakan, tercatat 303.381 suara sah dan 6.105 suara tidak sah. Artinya jumlah pemilih yang berpartisipasi datang menggunakan hak pilihnya adalah 309.396 pemilih dari 539.660 pemilih atau 57,73% dan yang golput adalah sisanya 42.27%.
Apa yang dituduhkan Prof.Djo partisipasi pemilih dibawah 50% dan SIS 64,4% tidak terbukti dan kabur. Sehingga jika dibandingkan tiga data yang dilansir masing-masing oleh Prof.Djo, SIS dan KPU Kota Padang, sepertinya kita dapat mengelompokkan data tersebut menjadi dua bagian yang bertentangan. Prof.Djo dan SIS termasuk pada satu kelompok yang kritis terhadap kinerja KPU Kota Padang sedangkan KPU Kota Padang berada pada sisi lain yang dengan data tersebut ingin menjawab apa adanya menyangkut kinerja mereka.
Selama sepuluh hari menjelang KPU Kota Padang menetapkan rekapitulasi penghitungan suara, selama itu pula masyarakat telah menggunakan perspektif Prof.Djo dan SIS dalam “menghakimi” kinerja KPU Kota Padang dengan angka partisipasi yang rendah. Namun apakah kemudian setelah KPU Kota Padang melansir data yang mereka kumpulkan dari seluruh TPS yang berjumlah 1487 unit, perspektif masyarakat akan berubah.
Jelas pertanyaan tersebut sulit dijawab, karena efek publikasi yang terjadi seperti anak panah lepas dari busurnya dan tak akan pernah kembali. Namun paling tidak hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU Kota Padang (2/10/08) dapat kita jadikan rujukan dalam menilai dan mengevaluasi pelaksanaan pilwako Padang, tidak terkecuali dengan Prof.Djo dan SIS.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang)

Perpustakaan Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Pengamat politik CSIS Indra Jaya Piliang (IJP) memimpikan adanya museum pemilu yang melestarikan berbagai pernik pemilu seperti bendera, poster, sepanduk, iklan kampanye, alat coblos, bantalan coblos, tinta, foto atau bahkan rekaman suara dan tayangan televisi. Atau dalam bentuk lain yang lebih konseptual seperti tahapan pemilu, cara kampanye, cara pemberian suara dan konsep lainnya (Kompas, 16 April 2008).
Gagasan IJP penting untuk hari ini dan masa yang akan datang, akan tetapi jika untuk mengadakan museum akan membutuhkan biaya besar karena membutuhkan tempat yang luas dan cara pemeliharaan benda-benda koleksi yang mahal, mungkin membangun perpustakaan pemilu bisa menjadi alternatif. Karena biaya perpustakaan biayanya lebih murah, sebab pada perpustakaan tidak terlalu penting adanya benda-benda koleksi, yang paling diutamakan adalah literatur yang terarsipkan baik berbentuk buku (hard copy) atau berbentuk rekaman visual (soft copy).
Apa yang ingin anda cari tentang pemilu? Datang lah ke perpustakaan pemilu, di sana setiap pengunjung dapat mengakses bermacam dokumen yang pernah digunakan penyelenggara pemilu. Seperti dokumen Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Calon Tetap (DCT), Peta Daerah Pemilihan, formulir-formulir dan dokumen lainnya seperti gambar denah Tempat Pemungutan Suara (TPS), gambar kotak suara, gambar bilik suara dan gambar logistik pemilu lainnya.
Informasi yang tersedia dalam perpustaan pemilu tidak hanya bersumber dari dokumen resmi KPU, tetapi semua pemangku kepentingan (stakeholders) pemilu dapat menjadi sumber informasinya. Misalnya dokumentasi kampanye partai, temuan pelanggaran pemilu dari panwas, dan hasil peliputan dari media massa atau bahkan dari masyarakat. Semakin banyak sumber lnformasi yang menyerahkan dokumentasi kepemiluannya, maka semakin lengkaplah informasi yang tersedia.
Sekedar contoh akibat dari kurangnya informasi yang ada, seandainya saat ini informasi pemilu sejak tahun 1955 tersedia cukup banyak, mungkin setiap orang yang berminat dapat ikut dalam menganalis perbandingan proses pemilu ke pemilu. Apa lagi pemilu tahun 2009 merupakan pelaksanaan pemilu yang ke-10, dihitung sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Dan pemilu 1955 juga tercatat sebagai pemilu yang terakhir, dalam rentang waktu pemerintahan Presiden Soekarno. Sedangkan pelaksanaan pemilu setelah tahun 1955 diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, mulai pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan terakhir diselenggarakan 1997, satu tahun sebelum gerakan reformasi memaksa Soeharto mundur dari jabatan presiden.
Wacana yang berkembang hingga saat ini adalah perbandingan pelaksanaan enam kali pemilu di bawah kekuasaan Presiden Soeharto dengan pemilu 1955. Banyak pengamat berpendapat, pemilu 1955 sebagai pemilu yang demokratis dengan sistem multi partai yang tak terbatas dan membenarkan peserta perseorangan. Walaupun pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif, beberapa daerah sedang bergolak akibat serangan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo.
Penilaian tentang keberhasilan penyelenggaraan pemilu 1955 disampaikan oleh para pengamat politik terkemuka di Indonesia seperti Nurcholis Madjid (Kompas, 1 Juli 1998). Deliar Noer dalam Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1948), Dr. Alfian. Dalam "Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia," (dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, LP3ES), ahli politik LIPI ini berpendapat, "dari segi pelaksanaannya, pemilu dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur, dan oleh karena itu suara yang diberikan anggota masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka.
Pandangan William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) memperkuat penilaian keberhasilan pemilu 1955 dan buruknya proses penyelenggaraan pemilu orde baru. Cuplikan pandangan tentang pemilu orde baru adalah sebagai berikut: "Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemiu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai."
Bagaimana pun penilaian yang disampaikan para pakar di atas tentang keberhasilan pemilu 1955 dan buruknya enam pemilu orde baru, hal itu merupakan hasil analis mereka terhadap fakta-fakta lapangan yang mungkin mereka alami sendiri atau mereka dapatkan dari dokumen yang terarsipkan.Jika fakta itu berbentuk pengalaman, maka ketika mereka wafat fakta itu akan musnah karena mereka bawa kealam kubur.
Siapa yang hari ini memiliki dokumentasi proses penyelenggaraan pemilu orde baru yang buruk itu? Siapa pula yang memiliki dokumentasi pemilu 1955 yang demokratis itu? Jika dokumentasi tentang keduanya tidak tersedia dengan baik bagaimana pula generasi sekarang dan masa yang akan datang berpartisipasi memberi penilaian.
Dengan semangat kepentingan seperti itu, secara perlahan KPU Sumbar telah merintis keberadaan perpustakaan pemilu di Sumatera Barat sejak tahun 2004. Kini perpustakaan tersebut mengelola buku-buku pemilu, politik dan hukum tata negara yang berjumlah 600 judul. Perpustakaan tersebut dilengkapi juga dengan dokumen-dokumen pemilu 2004 dan pilkada 2005. Hampir seluruhnya dokumen tersebut bersumber dari KPU Sumbar dan sebagaian yang lain dari Panwaslu dan Panwaslih Sumbar, belum ada dokumen dari partai atau masyarakat. Namun perpustakaan KPU Sumbar belum memiliki dokumentasi visual dalam bentuk film documenter.
Sehingga tidaklah berlebihan jika pada penyelenggaraan pemilu 2009 ini, setiap orang atau kelompok orang dapat menjadi sumber informasi karena masih memiliki kesempatan untuk mengabadikan tahap demi tahap pemilu 2009, baik dalam bentuk tulisan, foto atau film dokumenter. Jika kesempatan ini kita gunakan, maka kita akan dapat memberikan kontribusi bagi pengayaan informasi pemilu 2009 yang lebih lengkap yang dikelola pada perpustakaan pemilu.

Kepahlawanan Natsir dan Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Gelar Pahlawan Nasional telah diberikan Kepala Negara Republik Indonesia kepada DR.H.Mohammad Natsir Dt.Sinaro Panjang melalui keputusan Presiden Republik Indonesia No. 041/PK/2008. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) telah menyematkan gelar tersebut kepada perwakilan keluarga Pak Natsir pada tanggal 7 November 2008 di Istana Negara.
Untuk memperoleh gelar pahlawanan nasional adalah tidak mudah, karena berpuluh tahun waktu telah dihabiskan untuk meyakinkan semua pihak yang berwenang bahwa Pak Natsir (begitu orang biasa menyapanya) dengan segenap sumbangsihnya pada negara sehingga layak dianugrahi gelar pahlawan nasional.
Terutama pemikiran Pak Natsir tentang pentingnya keutuhan bangsa ini melalui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat di mana negara berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Pak Natsir menyampaikan pandangan Partai Masyumi di parlemen agar negara kembali kepada bentuk NKRI, pandangan ini kemudian lebih dikenal dengan nama mosi integral.
Selain untuk menghargai sumbangsih Pak Natsir untuk negara ini, sesungguhnya pada sosok Pak Natsir ada pemikiran, sikap dan perilaku yang pantas untuk diteladani oleh anak bangsa hari ini. Maka adalah sangat wajar pula, kalangan tertentu, seperti sahabat, murid, simpatisan, sanak-famili dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan serius dan terus menerus ikut melakukan sosialisasi tentang pentingnya gelar pahlawan bagi Pak Natsir.
Ketika gelar pahlawan nasional telah disandang Pak Natsir, maka sesungguhnya beliau telah menjadi milik bangsa ini. Semua anak bangsa yang tinggal dari Sabang sampai Maurauke, dari Talaud sampai Pulau Rote menjadi pemilik sah sosok Pak Natsir. Walaupun mereka terlahir dari berbagai suku Aceh hingga Papua, berbagai Agama dan Kepercayaan, dari berbagai latar belakang pendidikan dan tingkat kesejahteraan.
Konsekuensi lain gelar kepahlawanan yang sangat sederhana adalah foto Pak Natsir akan dipajang pada tempat-tempat tertentu di kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah tanpa membedakan madrasah atau seminari. Foto Pak Natsir akan bersanding dengan foto-foto pahlawan nasional lainnya seperti Bung Karno, Bung Hatta, Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Hasyim As’ary.
Penempatan foto para pahlawan nasional di kantor, sekolah dan gedung lainnya berarti memberikan penghormatan pada mereka. Sampai saat ini belum ada yang berkeberatan apa lagi marah-marah.
Dan apabila pada saat sekarang ini pelaksanaan tahapan pemilu 2009 sedang berlangsung, kemudian partai-partai dengan berbagai ideologi : nasionalis, sosialis, Islam maupun non-Islam, yang merupakan bagian komponen bangsa ini mengusung foto Pak Natsir dalam berbagai kesempatan, maka tindakan tersebut adalah sesuatu yang perlu dimaknai sama dengan penghormatan yang dilakukan pada tempat-tempat seperti kantor, sekolah dan gedung lainnya.
Betapa membanggakan kalau saja pada saat kampanye Partai Damai Sejahtera (PDS) yang beridoelogi non-Islam mengusung foto, slogan dan pendapat Pak Natsir. Apalagi jika tindakan itu juga dilakukan oleh Partai Golkar, PDI-P, Partai Demokrat dan Partai Nasionalis lainnya, karena simpatasan Pak Natsir ada di berbagai partai tersebut. Bagaimana dengan partai berdasar dan berbasis ummat Islam. Tentu sangat tepat mereka dengan gencar ikut mensosialisasikan Pak Natsir, pemikiran, sikap dan perilakunya sehingga patut diteladani dalam kacah perpolitikan Indonesia.
Lebih dari sekedar mengusung foto Pak Natsir, ada baiknya partai-partai juga mensosialisasikan mosi integral Pak Natsir. Mosi integral tersebut sangat penting disosialisasikan kembali di tengah ancaman seperatisme yang dapat mencabik NKRI. Pemahaman mosi integral tersebut akan lebih lengkap apabila dihubungkan dengan pemikiran Pak Natsir pada Pergerakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di mana Pak Natsir menginginkan penyebaran kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Di samping itu, kita juga perlu memahami perilaku santun dalam politik yang pernah dilakoni Pak Natsir. Ia berbeda pendapat dengan Bung Karno dan Pak Harto tapi ia tidak menghinakannya dan ia berbeda keyakinan dengan J.Kasimo tapi ia berteman akrab dengannya. Adalah sangat wajar, apabila berbagai partai politik akan menjadikan sosok Pak Natsir untuk menjadi rujukan dalam berkompetisi pada Pemilu 2009.
(Terbit pada Harian Padang Ekspres tanggal 11 Oktober 2008)

Penyuluh Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Tingkat partisipasi rata-rata pemilih yang menggunakan hak pilih pada pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumatera Barat (Sumbar) lebih rendah dari tingkat partisipasi rata-rata pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) menggunakan hak pilihnya pada pilkada di Sumbar rata-rata 66% sedangkan pada pemilu DPR,DPD dan DPRD mencapai angka 75%.
Jika kita mengamati waktu pelaksanaan pemilu yang lebih dahulu pelaksanaannya dibanding pilkada baik untuk pemilihan gubernur, walikota dan bupati di Sumbar, maka angka rata-rata partisipasi pemilih yang menggunakan haknya menunjukkan tren yang menurun. Sebagai contoh lain tren penurunan angka partisipasi dapat terlihat pada pemilihan Walikota Padang yang baru usai 23 Oktober 2008 yang lalu adalah 57% menurun dibandingkan dengan pemilu 2004 yang mencapai angka 65%.
Bagaimana pun kita harus optimis bahwa partisipasi pemilih pada pemilu 2009 mendatang berpotensi meningkat. Sebagai alasan sikap optimis itu berdasarkan hasil survey yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) pada bulan Oktober 2008 dengan responden yang menyebar di seluruh Indonesia, menemukan hanya 3% responden yang menyatakan memastikan tidak ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 2% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 2% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Sementara persentase yang telah memastikan akan ikut memilih lebih besar dibandingkan yang telah memastikan tidak ikut memilih. Sebanyak 13% responden yang menyatakan memastikan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 14% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 13% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Mereka yang telah memastikan sikapnya menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dapat diasumsikan sulit atau bahkan tidak terpengaruh lagi dengan situasi apapun namun jumlah mereka yang bersikap seperti itu jauh lebih kecil dari mereka yang masih bersikap ragu-ragu dan mudah berubah pilihan (swing voter). Walaupun sikap ragu-ragu mereka lebih cenderung kepada sikap kemungkinan ikut serta dalam pemungutan suara. Mereka yang bersikap ragu-ragu menunjukkan angka 84% responden kemungkinan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 84% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 85% untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Sikap yang diungkapkan responden tersebut mereka ungkapkan pada saat menurut mereka upaya penyebaran informasi kepemiluan sangat minim. Karena hanya 2% responden menyatakan informasi pemilu pada saat itu sangat banyak dan 12% responden menyatakan informasi yang telah ada adalah banyak. Selebihnya 54% responden menyatakan informasi kepemiluan masih sedikit dan 26% responden merasa tidak memperoleh informasi sama sekali dan 6% responden tidak tahu atau tidak mau menjawab.
Penilaian rendahnya penyebaran informasi kepemiluan yang dinyatakan responden, diurai dengan jawaban responden akan pengetahuan mereka tentang tanggal pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Sebanyak 61% responden menjawab tidak tahu, 12% responden menjawab tahu tapi hanya bulan saja dan selebihnya 27% salah menjawab bulan pelaksanaan pemungutan suara.
Bercermin pada data tersebut, maka adalah sangat beralasan ketika banyak pihak tetap saja meramalkan akan berlanjutnya tren penurunan partisipasi pemilih pada pemilu 2009. Mereka masih mengasumsikan bakal berlanjutnyanya tren penurunan partisipasi disebabkan masih kurangnya pelaksanaan sosialisasi KPU kepada masyarakat.
Pengertian sosialisasi yang digunakan resmi oleh KPU dalam Peraturan KPU No.23 tahun 2008 Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Proses penyampaian informasi atau sosialiasi pemilu tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold D Laswell berpendapat bahwa untuk melakukan komunikasi beberapa komponen harus tersedia. Komponen komunikasi lanjutnya adalah komunikator (orang yang menyampaikan informasi), informasi (bahan yang disampaikan), perantara (media yang digunakan), komunikan (orang yang menerima informasi), dan dampak/efek (suasana yang terjadi akibat terjadinya proses komunikasi, bisa baik atau buruk).
Kelima komponen komunikasi Laswell satu sama lain saling berhubungan, sehingga jika salah satu komponen terabaikan maka komunikasi tidak akan berlangsung. Tanpa mengurangi arti komponen yang lain, keberadaan komponen komunikator merupakan faktor utama yang harus memahami komponen lain seperti informasi, perantara/media, komunikan dan dampak/efek.
Sehingga komunikator dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu atau dapat kita sebut penyuluh pemilu, harus memiliki pengetahuan kepemiluan sebagai sumber informasi, mengerti tentang pilihan media yang efektif, memahami kelompok sasaran dan dapat memprediksi dampak baik dan buruk akibat pelaksanaan sosialisasi.
Karena penyelenggara pemilu di semua tingkatan merupakan orang-orang terpilih dari kalangan yang memiliki latar pendidikan yang baik, maka sesungguhnya dapat dinyatakan bahwa seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS berpotensi sebagai penyuluh pemilu.
Jika asumsi ini yang kita pakai, maka pada pemilu 2009 mendatang, di Sumatera Barat terdapat 83.868 orang tenaga penyuluh pemilu, terdiri dari 45 orang di tingkat provinsi (5 anggota dan 40 staf), 475 orang di tingkat kabupaten/kota (95 anggota dan 380 staf), 1.328 orang di tingkat kecamatan (830 anggota dan 496 staf), 10.095 orang (6.057 anggota dan 4.038) di tingkat kelurahan/desa dan nagari, serta 71.925 orang di tingkat RT/RW/jorong sebutan lain.
Jumlah potensial tenaga penyuluh pemilu ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tenaga penyuluh yang digerakkan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, seperti penyuluh pertanian, penyuluh KB, penyuluh kehutanan, penyuluh agama, dan penyuluh koperasi. Dan jumlah ini kemungkinan juga bertambah apabila usulan KPU Sumbar menyangkut penambahan TPS bisa dikabulkan KPU.
Namun sedikit disayangkan, kegiatan sosialisasi yang dibiayai APBN hanya sampai tingkat PPS di kelurahan/desa/nagari. Sehingga pemanfaatan tenaga penyuluh pemilu di KPPS yang berada pada tingkat RT/RW/jorong atau sebutan lain tidak dapat dimaksimalkan karena ketiadaan anggaran. Hal ini perlu menjadi pikiran bersama antara KPU provinsi/kabupaten/kota dengan pemerintahan daerah untuk dapat dicarikan solusinya.
KPU sebagai penyelenggara pemilu memang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sosisalisasi kepada masyarakat sesuai dengan pasal 8 ayat 1 huruf q undang-undang No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Tetapi undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat (pasal 244 ayat 1). Partisipasi masyarakat yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu (pasal 244 ayat 2).
Merujuk pada dua undang-undang tersebut, dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab tersosialisasinya penyelenggaraan pemilu tentu bukan hanya tanggung jawab KPU semata. Akan tetapi KPU dapat melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luas sebagai pelaksana sosialisasi. Batasan masyarakat pada konteks ini dapat dimaknai berasal dari perorangan, komunitas, dan organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya pada pasal 244 ayat 2, diatur ketentuan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sosialisasi sebagai berikut : tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu,bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan mendorong terwujudnya pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Andai kata masyarakat juga secara sukarela mau menjadi relawan penyuluh pemilu, maka mungkin pada pemilu 2009 mendatang, tidak akan lagi keluhan tentang sosialisasi yang kurang. Jika kegiatan sosialisasi telah berjalan secara maksimal, sedangkan partisipasi pemilih masih saja belum memuaskan, maka wajarlah kiranya kita mempertanyakan faktor apa yang menjadi penyebabnya.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang dan dalam bentuk artikel pada Harian Singgalang)