Minggu, 30 November 2008

Prof.Djo, SIS dan Pilwako Padang

Oleh : Husni Kamil Manik
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwako) Padang yang dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2008 yang lalu sungguh fenomenal. Banyak tanggapan miring yang muncul berkenaan penyelenggaraan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Padang periode 2008 – 2014 yang datang dari perorangan maupun lembaga.
Salah seorang diantaranya adalah Prof.DR.H.Djoharmensyah Djohan, MA, yang saat ini menjadi sekretaris pribadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Prof.Djo menilai bahwa pelaksanaan pilwako Padang adalah yang paling buruk di seluruh Indonesia karena partisipasi pemilih sangat rendah, kurang dari 50%. Mengingat latar belakang keilmuan Prof.Djo dan posisi yang sedang disandangnya, akan dengan mudah masyarakat yang mendengar dan menyaksikan tayangan informasi tersebut menerima begitu saja pendapat yang disampaikan.
Pendapat yang sama dilansir lembaga survey Sumatera Barat Intelectual Society (SIS), mulai dari sesaat setelah penghitungan suara selesai di TPS. Hasil survey yang dilansir merupakan hasil perhitungan suara dengan metode quick count yang mereka laksanakan pada 82 TPS yang terletak pada 82 kelurahan dari 104 kelurahan yang ada di Kota Padang. Ekspose hasil quick count tersebut dilansir kembali secara lebih lengkap pada hari Minggu (26/10/2008) di Harian Padang Ekspres.
Kesimpulan survey SIS sangat mengejutkan banyak pihak tidak terkecuali kalangan penyelenggara pemilihan umum di Sumatera Barat. Angka golput (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya) mencapai 64,4%, ada 10.006 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dari 25.531 orang yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di 82 TPS yang di survey.
Berarti yang menggunakan hak pilih pada 82 TPS tersebut adalah 15.525 pemilih atau 60,81%. Angka golput yang sampai 64,4% tentu menjadi tanda tanya besar dari mana datangnya karena angka 10.006 pemilih dibanding 25.531 pemilih dikali seratus persen adalah 39.91%.
Pemaparan temuan survey SIS juga dengan mudah diterima masyarakat, karena lembaga ini intensif mengeluarkan hasil survey yang mereka lakukan secara reguler pada masalah-masalah yang sedang menjadi perhatian publik. Ditambah pula, hasil survey tersebut selalu dilansir pada salah satu Koran harian terbesar di Sumatera Barat.
Apalagi SIS dengan lantang memberi komentar akhir sebagai berikut : dari sisi pelaksanaan pilkada, tingkat partisipasi pemilih dan jumlah gol[ut dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan KPU Kota Padang. Untuk itulah KPU kota Padang harus mengaca dan mengevaluasi diri serta mengidentifikasi dalam pelaksanaan Pilkada Kota Padang kali ini.
Sepuluh hari setelah pemungutan suara, KPU Kota Padang menetapkan rekapitulasi penghitungan suara pilwako Padang pada tanggal 2 November 2008 yang lalu. Dari data lampiran Model DB1-KWK yang dibagikan setelah proses rekapitulasi hasil penghitungan suara dilaksanakan, tercatat 303.381 suara sah dan 6.105 suara tidak sah. Artinya jumlah pemilih yang berpartisipasi datang menggunakan hak pilihnya adalah 309.396 pemilih dari 539.660 pemilih atau 57,73% dan yang golput adalah sisanya 42.27%.
Apa yang dituduhkan Prof.Djo partisipasi pemilih dibawah 50% dan SIS 64,4% tidak terbukti dan kabur. Sehingga jika dibandingkan tiga data yang dilansir masing-masing oleh Prof.Djo, SIS dan KPU Kota Padang, sepertinya kita dapat mengelompokkan data tersebut menjadi dua bagian yang bertentangan. Prof.Djo dan SIS termasuk pada satu kelompok yang kritis terhadap kinerja KPU Kota Padang sedangkan KPU Kota Padang berada pada sisi lain yang dengan data tersebut ingin menjawab apa adanya menyangkut kinerja mereka.
Selama sepuluh hari menjelang KPU Kota Padang menetapkan rekapitulasi penghitungan suara, selama itu pula masyarakat telah menggunakan perspektif Prof.Djo dan SIS dalam “menghakimi” kinerja KPU Kota Padang dengan angka partisipasi yang rendah. Namun apakah kemudian setelah KPU Kota Padang melansir data yang mereka kumpulkan dari seluruh TPS yang berjumlah 1487 unit, perspektif masyarakat akan berubah.
Jelas pertanyaan tersebut sulit dijawab, karena efek publikasi yang terjadi seperti anak panah lepas dari busurnya dan tak akan pernah kembali. Namun paling tidak hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU Kota Padang (2/10/08) dapat kita jadikan rujukan dalam menilai dan mengevaluasi pelaksanaan pilwako Padang, tidak terkecuali dengan Prof.Djo dan SIS.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang)

Perpustakaan Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Pengamat politik CSIS Indra Jaya Piliang (IJP) memimpikan adanya museum pemilu yang melestarikan berbagai pernik pemilu seperti bendera, poster, sepanduk, iklan kampanye, alat coblos, bantalan coblos, tinta, foto atau bahkan rekaman suara dan tayangan televisi. Atau dalam bentuk lain yang lebih konseptual seperti tahapan pemilu, cara kampanye, cara pemberian suara dan konsep lainnya (Kompas, 16 April 2008).
Gagasan IJP penting untuk hari ini dan masa yang akan datang, akan tetapi jika untuk mengadakan museum akan membutuhkan biaya besar karena membutuhkan tempat yang luas dan cara pemeliharaan benda-benda koleksi yang mahal, mungkin membangun perpustakaan pemilu bisa menjadi alternatif. Karena biaya perpustakaan biayanya lebih murah, sebab pada perpustakaan tidak terlalu penting adanya benda-benda koleksi, yang paling diutamakan adalah literatur yang terarsipkan baik berbentuk buku (hard copy) atau berbentuk rekaman visual (soft copy).
Apa yang ingin anda cari tentang pemilu? Datang lah ke perpustakaan pemilu, di sana setiap pengunjung dapat mengakses bermacam dokumen yang pernah digunakan penyelenggara pemilu. Seperti dokumen Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Calon Tetap (DCT), Peta Daerah Pemilihan, formulir-formulir dan dokumen lainnya seperti gambar denah Tempat Pemungutan Suara (TPS), gambar kotak suara, gambar bilik suara dan gambar logistik pemilu lainnya.
Informasi yang tersedia dalam perpustaan pemilu tidak hanya bersumber dari dokumen resmi KPU, tetapi semua pemangku kepentingan (stakeholders) pemilu dapat menjadi sumber informasinya. Misalnya dokumentasi kampanye partai, temuan pelanggaran pemilu dari panwas, dan hasil peliputan dari media massa atau bahkan dari masyarakat. Semakin banyak sumber lnformasi yang menyerahkan dokumentasi kepemiluannya, maka semakin lengkaplah informasi yang tersedia.
Sekedar contoh akibat dari kurangnya informasi yang ada, seandainya saat ini informasi pemilu sejak tahun 1955 tersedia cukup banyak, mungkin setiap orang yang berminat dapat ikut dalam menganalis perbandingan proses pemilu ke pemilu. Apa lagi pemilu tahun 2009 merupakan pelaksanaan pemilu yang ke-10, dihitung sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Dan pemilu 1955 juga tercatat sebagai pemilu yang terakhir, dalam rentang waktu pemerintahan Presiden Soekarno. Sedangkan pelaksanaan pemilu setelah tahun 1955 diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, mulai pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan terakhir diselenggarakan 1997, satu tahun sebelum gerakan reformasi memaksa Soeharto mundur dari jabatan presiden.
Wacana yang berkembang hingga saat ini adalah perbandingan pelaksanaan enam kali pemilu di bawah kekuasaan Presiden Soeharto dengan pemilu 1955. Banyak pengamat berpendapat, pemilu 1955 sebagai pemilu yang demokratis dengan sistem multi partai yang tak terbatas dan membenarkan peserta perseorangan. Walaupun pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif, beberapa daerah sedang bergolak akibat serangan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo.
Penilaian tentang keberhasilan penyelenggaraan pemilu 1955 disampaikan oleh para pengamat politik terkemuka di Indonesia seperti Nurcholis Madjid (Kompas, 1 Juli 1998). Deliar Noer dalam Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1948), Dr. Alfian. Dalam "Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia," (dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, LP3ES), ahli politik LIPI ini berpendapat, "dari segi pelaksanaannya, pemilu dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur, dan oleh karena itu suara yang diberikan anggota masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka.
Pandangan William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) memperkuat penilaian keberhasilan pemilu 1955 dan buruknya proses penyelenggaraan pemilu orde baru. Cuplikan pandangan tentang pemilu orde baru adalah sebagai berikut: "Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemiu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai."
Bagaimana pun penilaian yang disampaikan para pakar di atas tentang keberhasilan pemilu 1955 dan buruknya enam pemilu orde baru, hal itu merupakan hasil analis mereka terhadap fakta-fakta lapangan yang mungkin mereka alami sendiri atau mereka dapatkan dari dokumen yang terarsipkan.Jika fakta itu berbentuk pengalaman, maka ketika mereka wafat fakta itu akan musnah karena mereka bawa kealam kubur.
Siapa yang hari ini memiliki dokumentasi proses penyelenggaraan pemilu orde baru yang buruk itu? Siapa pula yang memiliki dokumentasi pemilu 1955 yang demokratis itu? Jika dokumentasi tentang keduanya tidak tersedia dengan baik bagaimana pula generasi sekarang dan masa yang akan datang berpartisipasi memberi penilaian.
Dengan semangat kepentingan seperti itu, secara perlahan KPU Sumbar telah merintis keberadaan perpustakaan pemilu di Sumatera Barat sejak tahun 2004. Kini perpustakaan tersebut mengelola buku-buku pemilu, politik dan hukum tata negara yang berjumlah 600 judul. Perpustakaan tersebut dilengkapi juga dengan dokumen-dokumen pemilu 2004 dan pilkada 2005. Hampir seluruhnya dokumen tersebut bersumber dari KPU Sumbar dan sebagaian yang lain dari Panwaslu dan Panwaslih Sumbar, belum ada dokumen dari partai atau masyarakat. Namun perpustakaan KPU Sumbar belum memiliki dokumentasi visual dalam bentuk film documenter.
Sehingga tidaklah berlebihan jika pada penyelenggaraan pemilu 2009 ini, setiap orang atau kelompok orang dapat menjadi sumber informasi karena masih memiliki kesempatan untuk mengabadikan tahap demi tahap pemilu 2009, baik dalam bentuk tulisan, foto atau film dokumenter. Jika kesempatan ini kita gunakan, maka kita akan dapat memberikan kontribusi bagi pengayaan informasi pemilu 2009 yang lebih lengkap yang dikelola pada perpustakaan pemilu.

Kepahlawanan Natsir dan Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Gelar Pahlawan Nasional telah diberikan Kepala Negara Republik Indonesia kepada DR.H.Mohammad Natsir Dt.Sinaro Panjang melalui keputusan Presiden Republik Indonesia No. 041/PK/2008. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) telah menyematkan gelar tersebut kepada perwakilan keluarga Pak Natsir pada tanggal 7 November 2008 di Istana Negara.
Untuk memperoleh gelar pahlawanan nasional adalah tidak mudah, karena berpuluh tahun waktu telah dihabiskan untuk meyakinkan semua pihak yang berwenang bahwa Pak Natsir (begitu orang biasa menyapanya) dengan segenap sumbangsihnya pada negara sehingga layak dianugrahi gelar pahlawan nasional.
Terutama pemikiran Pak Natsir tentang pentingnya keutuhan bangsa ini melalui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat di mana negara berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Pak Natsir menyampaikan pandangan Partai Masyumi di parlemen agar negara kembali kepada bentuk NKRI, pandangan ini kemudian lebih dikenal dengan nama mosi integral.
Selain untuk menghargai sumbangsih Pak Natsir untuk negara ini, sesungguhnya pada sosok Pak Natsir ada pemikiran, sikap dan perilaku yang pantas untuk diteladani oleh anak bangsa hari ini. Maka adalah sangat wajar pula, kalangan tertentu, seperti sahabat, murid, simpatisan, sanak-famili dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan serius dan terus menerus ikut melakukan sosialisasi tentang pentingnya gelar pahlawan bagi Pak Natsir.
Ketika gelar pahlawan nasional telah disandang Pak Natsir, maka sesungguhnya beliau telah menjadi milik bangsa ini. Semua anak bangsa yang tinggal dari Sabang sampai Maurauke, dari Talaud sampai Pulau Rote menjadi pemilik sah sosok Pak Natsir. Walaupun mereka terlahir dari berbagai suku Aceh hingga Papua, berbagai Agama dan Kepercayaan, dari berbagai latar belakang pendidikan dan tingkat kesejahteraan.
Konsekuensi lain gelar kepahlawanan yang sangat sederhana adalah foto Pak Natsir akan dipajang pada tempat-tempat tertentu di kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah tanpa membedakan madrasah atau seminari. Foto Pak Natsir akan bersanding dengan foto-foto pahlawan nasional lainnya seperti Bung Karno, Bung Hatta, Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Hasyim As’ary.
Penempatan foto para pahlawan nasional di kantor, sekolah dan gedung lainnya berarti memberikan penghormatan pada mereka. Sampai saat ini belum ada yang berkeberatan apa lagi marah-marah.
Dan apabila pada saat sekarang ini pelaksanaan tahapan pemilu 2009 sedang berlangsung, kemudian partai-partai dengan berbagai ideologi : nasionalis, sosialis, Islam maupun non-Islam, yang merupakan bagian komponen bangsa ini mengusung foto Pak Natsir dalam berbagai kesempatan, maka tindakan tersebut adalah sesuatu yang perlu dimaknai sama dengan penghormatan yang dilakukan pada tempat-tempat seperti kantor, sekolah dan gedung lainnya.
Betapa membanggakan kalau saja pada saat kampanye Partai Damai Sejahtera (PDS) yang beridoelogi non-Islam mengusung foto, slogan dan pendapat Pak Natsir. Apalagi jika tindakan itu juga dilakukan oleh Partai Golkar, PDI-P, Partai Demokrat dan Partai Nasionalis lainnya, karena simpatasan Pak Natsir ada di berbagai partai tersebut. Bagaimana dengan partai berdasar dan berbasis ummat Islam. Tentu sangat tepat mereka dengan gencar ikut mensosialisasikan Pak Natsir, pemikiran, sikap dan perilakunya sehingga patut diteladani dalam kacah perpolitikan Indonesia.
Lebih dari sekedar mengusung foto Pak Natsir, ada baiknya partai-partai juga mensosialisasikan mosi integral Pak Natsir. Mosi integral tersebut sangat penting disosialisasikan kembali di tengah ancaman seperatisme yang dapat mencabik NKRI. Pemahaman mosi integral tersebut akan lebih lengkap apabila dihubungkan dengan pemikiran Pak Natsir pada Pergerakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di mana Pak Natsir menginginkan penyebaran kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Di samping itu, kita juga perlu memahami perilaku santun dalam politik yang pernah dilakoni Pak Natsir. Ia berbeda pendapat dengan Bung Karno dan Pak Harto tapi ia tidak menghinakannya dan ia berbeda keyakinan dengan J.Kasimo tapi ia berteman akrab dengannya. Adalah sangat wajar, apabila berbagai partai politik akan menjadikan sosok Pak Natsir untuk menjadi rujukan dalam berkompetisi pada Pemilu 2009.
(Terbit pada Harian Padang Ekspres tanggal 11 Oktober 2008)

Penyuluh Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Tingkat partisipasi rata-rata pemilih yang menggunakan hak pilih pada pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumatera Barat (Sumbar) lebih rendah dari tingkat partisipasi rata-rata pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) menggunakan hak pilihnya pada pilkada di Sumbar rata-rata 66% sedangkan pada pemilu DPR,DPD dan DPRD mencapai angka 75%.
Jika kita mengamati waktu pelaksanaan pemilu yang lebih dahulu pelaksanaannya dibanding pilkada baik untuk pemilihan gubernur, walikota dan bupati di Sumbar, maka angka rata-rata partisipasi pemilih yang menggunakan haknya menunjukkan tren yang menurun. Sebagai contoh lain tren penurunan angka partisipasi dapat terlihat pada pemilihan Walikota Padang yang baru usai 23 Oktober 2008 yang lalu adalah 57% menurun dibandingkan dengan pemilu 2004 yang mencapai angka 65%.
Bagaimana pun kita harus optimis bahwa partisipasi pemilih pada pemilu 2009 mendatang berpotensi meningkat. Sebagai alasan sikap optimis itu berdasarkan hasil survey yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) pada bulan Oktober 2008 dengan responden yang menyebar di seluruh Indonesia, menemukan hanya 3% responden yang menyatakan memastikan tidak ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 2% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 2% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Sementara persentase yang telah memastikan akan ikut memilih lebih besar dibandingkan yang telah memastikan tidak ikut memilih. Sebanyak 13% responden yang menyatakan memastikan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 14% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 13% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Mereka yang telah memastikan sikapnya menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dapat diasumsikan sulit atau bahkan tidak terpengaruh lagi dengan situasi apapun namun jumlah mereka yang bersikap seperti itu jauh lebih kecil dari mereka yang masih bersikap ragu-ragu dan mudah berubah pilihan (swing voter). Walaupun sikap ragu-ragu mereka lebih cenderung kepada sikap kemungkinan ikut serta dalam pemungutan suara. Mereka yang bersikap ragu-ragu menunjukkan angka 84% responden kemungkinan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 84% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 85% untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Sikap yang diungkapkan responden tersebut mereka ungkapkan pada saat menurut mereka upaya penyebaran informasi kepemiluan sangat minim. Karena hanya 2% responden menyatakan informasi pemilu pada saat itu sangat banyak dan 12% responden menyatakan informasi yang telah ada adalah banyak. Selebihnya 54% responden menyatakan informasi kepemiluan masih sedikit dan 26% responden merasa tidak memperoleh informasi sama sekali dan 6% responden tidak tahu atau tidak mau menjawab.
Penilaian rendahnya penyebaran informasi kepemiluan yang dinyatakan responden, diurai dengan jawaban responden akan pengetahuan mereka tentang tanggal pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Sebanyak 61% responden menjawab tidak tahu, 12% responden menjawab tahu tapi hanya bulan saja dan selebihnya 27% salah menjawab bulan pelaksanaan pemungutan suara.
Bercermin pada data tersebut, maka adalah sangat beralasan ketika banyak pihak tetap saja meramalkan akan berlanjutnya tren penurunan partisipasi pemilih pada pemilu 2009. Mereka masih mengasumsikan bakal berlanjutnyanya tren penurunan partisipasi disebabkan masih kurangnya pelaksanaan sosialisasi KPU kepada masyarakat.
Pengertian sosialisasi yang digunakan resmi oleh KPU dalam Peraturan KPU No.23 tahun 2008 Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Proses penyampaian informasi atau sosialiasi pemilu tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold D Laswell berpendapat bahwa untuk melakukan komunikasi beberapa komponen harus tersedia. Komponen komunikasi lanjutnya adalah komunikator (orang yang menyampaikan informasi), informasi (bahan yang disampaikan), perantara (media yang digunakan), komunikan (orang yang menerima informasi), dan dampak/efek (suasana yang terjadi akibat terjadinya proses komunikasi, bisa baik atau buruk).
Kelima komponen komunikasi Laswell satu sama lain saling berhubungan, sehingga jika salah satu komponen terabaikan maka komunikasi tidak akan berlangsung. Tanpa mengurangi arti komponen yang lain, keberadaan komponen komunikator merupakan faktor utama yang harus memahami komponen lain seperti informasi, perantara/media, komunikan dan dampak/efek.
Sehingga komunikator dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu atau dapat kita sebut penyuluh pemilu, harus memiliki pengetahuan kepemiluan sebagai sumber informasi, mengerti tentang pilihan media yang efektif, memahami kelompok sasaran dan dapat memprediksi dampak baik dan buruk akibat pelaksanaan sosialisasi.
Karena penyelenggara pemilu di semua tingkatan merupakan orang-orang terpilih dari kalangan yang memiliki latar pendidikan yang baik, maka sesungguhnya dapat dinyatakan bahwa seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS berpotensi sebagai penyuluh pemilu.
Jika asumsi ini yang kita pakai, maka pada pemilu 2009 mendatang, di Sumatera Barat terdapat 83.868 orang tenaga penyuluh pemilu, terdiri dari 45 orang di tingkat provinsi (5 anggota dan 40 staf), 475 orang di tingkat kabupaten/kota (95 anggota dan 380 staf), 1.328 orang di tingkat kecamatan (830 anggota dan 496 staf), 10.095 orang (6.057 anggota dan 4.038) di tingkat kelurahan/desa dan nagari, serta 71.925 orang di tingkat RT/RW/jorong sebutan lain.
Jumlah potensial tenaga penyuluh pemilu ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tenaga penyuluh yang digerakkan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, seperti penyuluh pertanian, penyuluh KB, penyuluh kehutanan, penyuluh agama, dan penyuluh koperasi. Dan jumlah ini kemungkinan juga bertambah apabila usulan KPU Sumbar menyangkut penambahan TPS bisa dikabulkan KPU.
Namun sedikit disayangkan, kegiatan sosialisasi yang dibiayai APBN hanya sampai tingkat PPS di kelurahan/desa/nagari. Sehingga pemanfaatan tenaga penyuluh pemilu di KPPS yang berada pada tingkat RT/RW/jorong atau sebutan lain tidak dapat dimaksimalkan karena ketiadaan anggaran. Hal ini perlu menjadi pikiran bersama antara KPU provinsi/kabupaten/kota dengan pemerintahan daerah untuk dapat dicarikan solusinya.
KPU sebagai penyelenggara pemilu memang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sosisalisasi kepada masyarakat sesuai dengan pasal 8 ayat 1 huruf q undang-undang No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Tetapi undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat (pasal 244 ayat 1). Partisipasi masyarakat yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu (pasal 244 ayat 2).
Merujuk pada dua undang-undang tersebut, dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab tersosialisasinya penyelenggaraan pemilu tentu bukan hanya tanggung jawab KPU semata. Akan tetapi KPU dapat melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luas sebagai pelaksana sosialisasi. Batasan masyarakat pada konteks ini dapat dimaknai berasal dari perorangan, komunitas, dan organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya pada pasal 244 ayat 2, diatur ketentuan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sosialisasi sebagai berikut : tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu,bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan mendorong terwujudnya pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Andai kata masyarakat juga secara sukarela mau menjadi relawan penyuluh pemilu, maka mungkin pada pemilu 2009 mendatang, tidak akan lagi keluhan tentang sosialisasi yang kurang. Jika kegiatan sosialisasi telah berjalan secara maksimal, sedangkan partisipasi pemilih masih saja belum memuaskan, maka wajarlah kiranya kita mempertanyakan faktor apa yang menjadi penyebabnya.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang dan dalam bentuk artikel pada Harian Singgalang)