Minggu, 10 Mei 2009

Menyongsong Pemilu Presiden 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Nyaris luput dari perhatian publik Sumatera Barat, tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden telah dilalui 1 (satu) bulan lamanya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah melakukan kegiatan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih untuk keperluan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, di tengah perhatian publik yang masih tertuju pada masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Bukan hendak mengalihkan perhatian, tetapi KPU telah menetapkan Peraturan KPU No.10 Tahun 2009 tentang tahapan, program, dan jadual penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Peraturan tersebut, menetapkan tanggal 1 Maret 2009 sebagai permulaan tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, akan dilaksanakan 10 (sepuluh) tahapan. Termasuk di dalamnya jika terjadi pemilihan putaran kedua. Kesepuluh tahapan tersebut adalah pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih; pencalonan; pencetakan dan pendistribusian; kampanye; pemungutan suara dan penghitungan suara; pencetakan dan pendistribusian tahap II; kampanye tahap II; pemungutan suara dan penghitungan suara tahap II; penetapan hasil pemilu; serta pelantikan dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Setelah sebulan KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data pemilih, pada tanggal 1 April 2009 secara nasional Panitia Pemungutan Suara (PPS) mengumumkan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Pengumuman dilakukan selama 7 (tujuh) hari di tempat yang mudah dijangkau masyarakat, antara lain pada kantor PPS atau kantor Kepala Desa/Lurah/Nagari atau sebutan lainnya, dan balai pertemuan.
Pengumuman DPS bertujuan agar masyarakat mengetahui keberadaan daftar dan data orang yang sudah direkam KPU sebagai pemilih. Data DPS yang diumumkan sekurang-kurangnya memuat Nomor Induk Kependudukan, nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, umur, status perkawinan, jenis kelamin (L/P), alamat/tempat tinggal, dan keterangan lain jenis cacat yang disandang oleh pemilih (Peraturan KPU No.14/2009).
Data DPS yang diumumkan merupakan hasil pengolahan data DPT Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 dan ditambah dengan data penduduk potensial sebagai pemilih yang diperoleh dari Pemerintah Daerah melalui perangkat daerah yang menangani urusan kependudukan dan catatan sipil.
Jika pada pengumuman DPS terdapat data yang dianggap masyarakat salah, belum lengkap, atau tidak sepantasnya, maka masyarakat dapat memberikan tanggapan atau masukan kepada PPS, dengan membubuhkan identitas yang berlaku dan identitas yang dilaporkan secara lengkap dan jelas.
PPS mencatat masukan dan tanggapan masyarakat berupa keterangan/penjelasan tentang data pemilih yang menyangkut tentang :
a. Pemilih yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun pada hari dan tanggal pemungutan suara dan/atau sudah/pernah kawin, tapi belum terdapat pada DPS.
b. Pemilih mempunyai alamat dan tempat tinggal lebih dari 1 (satu) lokasi.
c. Pemilih yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009.
d. Pemilih yang sudah meninggal
e. Pemilih yang telah pindah domisili ke daerah lain, berdasarkan surat keterangan pindah dari instansi berwenang
f. Pemilih yang sudah berubah status dari anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Naasional Republik Indonesia menjadi warga sipil/purnatugas atau sebaliknya, harus dibuktikan dengan keputusan pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
g. Pemilih yang datanya terdapat kebutuhan perbaikan penulisan identitas
h. Pemilih yang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, PPS meneliti dan memperbaiki DPS selama 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman. DPS yang telah selesai diperbaiki dan disusun, kemudian ditandatangani oleh Ketua PPS dan anggota PPS sebagai legalisasi.
DPS hasil perbaikan yang telah ditandatangani, hanya dicetak 2 (dua) rangkap, masing-masing 1 (satu) rangkap disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK, dan 1 (satu) rangkap untuk arsip PPS. Dan tidak ada kewajiban memberikan DPS untuk partai politik sebagaimana pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
KPU Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPK menyusun dan menetapkan DPT berdasarkan DPS hasil perbaikan yang disampaikan PPS melalui PPK. Penetapan DPT berbasis TPS memperhatikan domisili pemilih berdasarkan RT/RW atau sebutan lain. Rancangan jumlah pemilih per TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS, ketentuan yang harus dipedomani adalah memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat. Ketentuan tersebut sebagai berikut : memudahkan pemilih; jarak tempuh menuju TPS; memperhatikan aspek geografis; tidak menggabungkan desa/kelurahan; dan batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara serta penghitungan suara.
Penetapan DPT di tingkat KPU Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 28 April 2009. Hal ini berarti, tahapan penyusunan daftar pemilih hanya berlangsung 4 (empat) minggu terhitung sejak pengumuman DPS.
Waktu penetapan DPT yang tersisa tidaklah lama. Apalagi jadwalnya bersamaan dengan tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tersisa. Tetapi waktu yang tersisa itu, menjadi sangat menentukan, apakah kualitas DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang baik dari Pemilu, Pilpres dan Pilkada masa lalu.
DPT yang baik, akan menjadi awal yang baik dalam menyongsong Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009.
(Diterbitkan harian Singgalang, bulan Maret 2009)

Dialog Imajiner Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Pasca pemungutan suara tanggal 9 April 2009, masalah yang terjadi pada setiap tahapan Pemilu 2009, seakan menarik untuk dijadikan isu politik. Dengan mudah dapat diduga, mereka yang mempolitisir isu tersebut berasal dari kalangan politikus.
Lain halnya dengan mereka yang dikemukakan dalam tulisan ini. Karena saya akan memperbincangkan dua sahabat yang merupakan kolumnis di Sumatera Barat. Mereka berdua, telah menulis tema pemilu dalam satu hari yang sama, pada Hari Minggu/26 April 2009, diterbitkan pada dua media harian yang berbeda.
Sahabat saya yang pertama bernama Erizal, SS menulis pada kolom Langgam di Halaman satu Harian Singgalang dengan judul Menang dalam “Pemilu Terburuk”. Dan sahabat saya yang kedua bernama Ampera Salim (AS) Patimarajo menulis kolom Bakambang Kato di Halaman 12 Harian Padang Ekspres dengan judul Ampok Biduak.
Erizal menyampaikan pokok pikirannya pada alinea ketiga yaitu “kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), logistik pemilu yang centang perenang, strategi sosialisasi yang amburadul, dan seterusnya, adalah bagian dari kelemahan atau kebrengsekan penyelenggara Pemilu yang begitu bebal terhadap masukan pengamat dan kurang maunya mereka belajar dengan baik dan sungguh-sungguh terhadap para pendahulunya”.
Sementara Patimarajo menulis pada bagian kedua kolom Bakambang Kato, sebagai berikut : “ungkapan Minangnya Ampok Biduak. Arti ungkapan adalah seseorang yang tidak mau mengakui kesalahan. Atau tidak mau mengakui kekalahan. Seperti dalam pemilihan umum, umpamanya. Setelah penyelenggara selesai melaksanakan pemungutan suara dengan baik, tiba-tiba ada yang menuduh telah terjadi kecurangan. Malah Pemilu mintak diulang. Seolah-olah pengulangan itu akan membuat pihaknya pasti jadi pemenang. Mestinya berprasangka baik sajalah. Jika segala sesuatunya sudah berjalan sesuai dengan ketentuan. Jangan ada lagi sifat selalu curiga. Sebab, bila selalu tak puas, akan mengundang strs. Panik”.
Kedua sahabat saya ini merupakan kolumnis muda yang produktif. Pandangan yang tuangkan dalam tulisan pada saat ini, seakan pantang untuk tidak dimuat di media massa di Sumatera Barat. Dua pandangan ini, jelas berbeda kutub. Erizal seakan berada pada kutub negatif, sementara Patimarajo berada pada kutub positif.
Saya menduga pandang yang mereka tuangkan dalam tulisan masing-masing sudah melalui dialog monologis. Masing-masing melontarkan pertanyaan, dan masing-masing pula mencoba menjawab pertanyaan yang mereka buat sendiri.
Saya ingin memposisikan berada di tengah pendapat mereka. Kepada keduanya, saya ingin menyampaikan bahwa masalah yang terjadi pada setiap penyelenggara Pemilu merupakan suatu keprihatinan tersendiri. Tidak hanya pengamat atau kolumnis yang acap kali mengatasnamakan rakyat atau kepentingan yang dipersepsikan terzalimi, tapi juga merupakan sikap penyelenggara Pemilu.
Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU berobsesi melaksanakan tugasnya dengan baik. Obsesi tersebut bukan pepesan kosong. Seluruh tahapan manajemen telah maksimal diupayakan. Perencanaan program dan tahapan telah dirumuskan sesaat setelah UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD diterbitkan. Penggerakan terhadap sumberdaya yang dimiliki KPU pun telah dilakukan. Pengawasan dan evaluasi pun telah pula dilaksanakan.
Mendengar penjelasan tersebut, mungkin Erizal akan kembali bertanya, “kenapa masalah tetap saja ada? Misalnya masalah DPT, logistik, dan sosialisasi”.
“Ketiga masalah tersebut dan mungkin masalah yang lain tidak berdiri sendiri, akibat kesalahan manajemen Pemilu”, tangkas Patimarajo.
Proses DPT dimulai dengan penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah kepada KPU, 12 bulan sebelum penyelenggaraan pemungutan suara. Ketika proses pencocokan dan penelitian (coklit) dilakukan dari rumah ke rumah, KPU menggunakan jasa petugas PPS dan PPDP yang direkomendasikan oleh aparat pemerintahan setingkat lurah/kepala desa/wali nagari. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber data utama DPT Pemilu 2009, yang dianggap bermasalah.
Tentang masalah logistik, hal yang menjadi sorotan adalah tertukarnya surat suara, kurangnya surat suara, kurangnya formulir, kualitas tinta yang rendah dan lain-lain, terjadi akibat kinerja pihak ketiga yang mengadakan barang dan jasa. Karena dalam spesifikasi yang ditetapkan KPU sudah melalui pembahasan yang ketat.
Sementara untuk masalah sosialisasi sampai saat ini, tidak ada alat ukur yang pasti sebagai bahan untuk menilai tingkat kebermasalahan sosialisasi. “Andai kata semua warga Indonesia mendapat informasi tentang Pemilu, tapi mereka tidak punya pilihan politik, bagaimana mereka akan mau menggunakan haknya? Atau mereka sudah punya pilihan politik tapi pada saat yang bersamaan mereka harus memenuhi kebutuhan nafkahnya, bagaimana pula mereka akan menggunakan haknya”, tanya Patimarajo bersemangat.
Bukannya menjawab pertanyaan Patimarajo, Erizal justru kembali bertanya,” tapi kenapa para tokoh penting di negeri ini mendeklarasikan suatu kesepakatan bersama bahwa Pemilu 2009 ini adalah “Pemilu Terburuk” selama dua kali Pemilu yang telah dilaksanakan di zaman reformasi?
“Adakah yang berkumpul di sana, berasal dari partai pemenang pemilu 2009? Patimarajo balik bertanya.
Sebelum Erizal menanggapi pertanyaan balik Patimarajo, Saya pun menyela dialog mereka. Saya menjelaskan bahwa atas permasalahan yang terjadi, Ketua KPU Prof.DR.H.A.Hafiz Ansyari, MA, telah minta maaf. Hal itu berarti, secara kelembagaan sudah ada pengakuan kehilafan kinerja secara kelembagaan.
“jika kita ingin membandingkan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 dengan Pemilu sebelumnya, tentu membutuhkan waktu yang cukup. Tidak mungkin hanya satu atau dua hari setelah pemungutan suara”, jelas Patimarajo.
“Apalagi saat ini, kehidupan keseharian masyarakat tidak terpengaruh pada domain menang-kalah yang sedang dirasakan peserta pemilu. Masyarakat sudah dapat menerima hasil pelaksanaan Pemilu, dan elit poltik pun sudah sibuk membangun koalisi berdasarkan hasil Pemilu 2009”, lanjut Patimarajo.
Keberlanjutan dialog yang lebih interaktif antar pandangan tersebut, mungkin akan muncul analisis yang lebih berwawasan dan objektif. Pandangan Erizal yang dipersepsikan berada pada kutub yang negatif, secara bertahap akan dapat bergerak menuju kutub positif. Begitu pula sebaliknya dengan pandangan Patimarajo yang akan bergerak dari kutub positif ke kutub negatif. Maka dialog ini bisa disebut menjadi dialog imajiner yang akan dapat menghasilkan pandangan yang lebih berwawasan dan objektif menilai baik atau buruknya Pemilu 2009.
(diterbitkan harian Singgalang, 5 Mei 2009)

Merayakan Hari Demokrasi

Oleh : Husni Kamil Manik
Pengakuan atas kedaulatan rakyat pada sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Kedaulatan rakyat akan menemukan makna substansinya, mana kala pelibatan rakyat secara langsung berpengaruh terhadap perubahan arah politik. Metoda pelibatan rakyat yang dimaksud adalah melalui penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu).

Rakyat Indonesia memiliki keinginan yang kuat untuk terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, adat-istiadat, agama, usia, jenis kelamin dan lainnya, pada dasarnya ingin berpartisipasi. Sebagai contoh, para kaum pergerakan petani yang tergabung dengan organisasi Serikat Petani Indonesia (SPI). Mereka mencoba menyuarakan aspirasi kedaulatan rakyat melalui manifesto organisasi yang dirumuskan pada tanggal 5 Desember 2007 di Wonosobo, sebagai berikut :

“Kami petani Indonesia, menuntut dipraktekkannya sistem politik Indonesia yang menegakkan kedaulatan rakyat. Kami akan terus berjuang untuk mewujudkan sistem politik yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mampu memajukan kesejahteraan umum, sanggup mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sanggup untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.”

Rujukan lain tentang pemikiran tegaknya kedaulatan rakyat, sering kali menempatkan pendapat JJ Rousseau dalam bukunya Contract, Sodale (1763) sebagai satu arah pandang. Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Bagaimana caranya agar manusia tetap moralis? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan harus diatur dan kedaulatan rakyat harus terjamin.

Karenanya pemilu dipandang menjadi momentum penyerahan mandat kedaulatan rakyat kepada perwakilannya. Jika kepemimpinan yang lama dianggap berhasil mengelola mandat kedaulatan, maka pada pelaksanaan pemilu, pilihan rakyat akan tetap berada pada partai atau politisi tersebut. Namun, jika rakyat tidak puas dengan kepemimpinan yang lama, maka mereka akan mencari alternatif pilihan.

Pemilu dirancang sedemikian rupa agar proses serah-terima mandat rakyat terjamin melalui regenerasi kepemimpinan yang berkelanjutan. Pemahaman akan arti penting pemilu tersebut, menghendaki berjalannya beberapa instrumen penting, yaitu : pemerintahan hanya sebagai fasilitator, penyelenggara yang tidak berpihak, peserta pemilu yang berkualitas, dan pemilih yang rasional-moralis.

Pada Pemilu 2009 ini, instrumen yang dimaksud telah terpandu dalam paket peraturan perundang-undang. Setidaknya ada 3 undang-undang (UU) yang dijadikan sebagai panduan peraturannya yaitu UU No.22/2007 tentang penyelenggara pemilu, UU No.2/2008 tentang partai politik, dan UU No.10/2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, semua komponen telah bersiap melaksanakan pemilu.

Pemerintah telah menjalankan fungsi fasilitasinya. Anggaran pemilu telah disediakan pada 2 tahun anggaran berturut-turut pada APBN dan APBD 2008-2009. Koordinasi antar instansi untuk menciptakan kondisi sosial, politik, hukum dan keamanan telah pula dilakukan. Tenaga kepegawaian telah pula ditugaskan untuk membantu Komisi pemilihan Umum (KPU). Begitu pula dengan kegiatan lain yang dibutuhkan demi suksesnya penyelenggaraan pemilu.

Upaya yang sama telah pula dilaksanakan KPU. Program dan tahapan pemilu telah terlaksana dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Hasil dari pelaksanaan program dan tahapan tersebut adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), peserta pemilu yang terdiri dari partai politik dan perorangan, penetapan alokasi kursi dan daerah pemilihan, calon anggota DPR, DPD dan DPRD, logistik pemilu, serta terbentuknya PPK, PPS dan KPPS. Keseluruhan pelaksanaan tahapan ini, mengarah pada puncak pelaksanaan pemilu, yaitu pemungutan dan penghitungan suara tanggal 9 April 2009.

Di sisi lain, peserta pemilu telah pula melakukan persiapan personil, manajemen pemenangan, dan program yang ditawarkan. Kemeriahan pengenalan diri peserta pemilu terlihat di mana-mana. Seperti kibaran bendera peserta pemilu melambai-lambai keberbagai arah. Gambar caleg menempel atau menggantung ditempat yang memungkinkan. Iklan media cetak mampu menutup sebagian besar halaman koran, majalah, tabloid, dan portal. Siaran televisi dan radio secara rutin menyampaikan propaganda.

Tak berhenti di sana, peserta pemilu pun tampak rajin mengikuti berbagai kegiatan masyarakat. Ada yang terencana dan ada pula yang tidak. Ada yang sekedar menjadi undangan, ada yang hadir sebagai pembicara, ada yang menjadi tuan rumah, ada pula yang hanya penyandang dana. Jika ada keramaian mereka berlomba-lomba ke sana. Ada kematian mereka kunjungi, ada perhelatan mereka datangi, ada bencana mereka sumbangi, ada perlombaan mereka biayai, ada perayaan hari keagamaan mereka berpartisipasi.

Melihat perhatian yang besar dari peserta pemilu, rakyat pun bergairah. Seorang tukang ojek misalnya, tak sungkan-sungkan bertanya ke kantor tim pemenangan. Mereka minta untuk selalu dilibatkan setiap kali ada kegiatan. Boleh pagi atau sore, boleh juga siang atau malam. Begitu pula sikap komponen rakyat lainnya yang bersedia berpartisipasi dalam perhelatan ini.

Pada akhirnya partisipasi semua pihak akan terlihat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di sana akan terlihat hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan. Apakah oleh pemerintah, KPU, peserta pemilu, dan rakyat sebagai pemilih. Di TPS pula, tersedia bilik temapat dilakukannya serah- terima mandat dari rakyat kepada wakilnya. Dan TPS pula secara simbolik menjadi ruang tempat rakyat merayakan harinya, hari demokrasi.

Sabtu, 04 April 2009

Pemilih Rawat Inap

Oleh : Husni Kamil Manik
Mengidap penyakit merupakan kondisi yang selalu dihindari setiap orang normal. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba seorang pemilih atau keluarga pemilih terserang penyakit? Terutama terserang penyakit yang harus ditanangani dengan rawat inap di rumah sakit atau klinik.
Pemilih atau keluarga pemilih yang menjalani rawat inap, harus melaporkan kondisi yang dialami kepada KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/KPPS domisilinya. Mereka melaporan akibat rawat inap yang dialami, menyebabkan mereka tidak dapat memberikan suara di TPS yang telah ditetapkan. Proses pelaporan pemilih atau keluarga pemilih semakin cepat, semakin baik. Tidak perlu menanti pada saat hari pemungutan suara.
Menindaklanjuti laporan tersebut, petugas KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/KPPS, meneliti nama pemilih atau keluarga pemilih dalam salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Apabila nama pemilih atau keluarga pemilih tercantum dalam salinan DPT, maka petugas KPU Kabupaten/Kota/PPK/ PPS/KPPS menerbitkan surat pindah memilih (Formulir Model A5).
Kemudian, surat pindah memilih yang telah diperoleh, diserahkan kepada petugas PPS/KPPS yang terdekat dengan rumah sakit atau klinik, tempat pemilih dan keluarga pemilih menjalani rawat inap. Petugas PPS/KPPS memasukkan nama pemilih atau keluarga pemilih pada Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb) atau formulir Model A4.
Untuk pelaksanaan pemungutan suara, Ketua KPPS menugaskan anggota KPPS sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang dan 1 (satu) orang petugas keamanan TPS, didampingi panwaslu lapangan serta saksi.
Mereka membawa perlengkapan seperlunya untuk melaksanakan kegiatan pemungutan suara dengan cara mendatangi tempat pemilih dan keluarga pemilih di tempat rawat inap. Perlengkapan seperlunya yang dimaksud adalah bilik suara, surat suara, alat menandai, dan tinta.
Kepada pemilih atau keluarga pemilih tetap diberikan 4 (empat) jenis surat, sama dengan surat suara yang diberikan kepada pemilih normal. Setelah masing-masing surat suara diberi tanda pilihan oleh pemilih, kemudian dilipat dan selanjutnya diserahkan kepada petugas KPPS.
Petugas KPPS membawa seluruh surat suara kembali dalam keadaan terlipat, untuk dimasukkan dalam kotak suara yang berada di TPS. Petugas KPPS, Keamanan, Panwaslu lapangan, dan Saksi wajib menjaga kerahasian pemilih.
(Diterbitkan pada rubrik Metrosiana, Harian Posmetro Padang)

Pemilih Tambahan

Oleh : Husni Kamil Manik
Setiap pemilih punya hak menentukan di mana ia ingin memberikan suara, boleh pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) di lokasi domisilinya, atau TPS lain. Syaratnya adalah ia telah terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pemilih yang memberikan suara pada TPS lain, di luar tempat ia terdaftar dalam DPT disebut sebagai pemilih tambahan. Seseorang yang menjadi pemilih tambahan akan masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), apabila proses pelaporannya masuk paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Status pemilih tambahan dapat diperoleh karena keadaan tertentu yang menyebabkan pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS yang telah ditetapkan.
Penyebab keadaan tertentu yang dimaksud karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara, atau kondisi tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan pemilih seperti sakit, menjadi tahanan, tugas pekerjaan (pilot, pramugari, nakhoda, pekerja lepas pantai, masinis, pemantau pemilu, pengawas pemilu, saksi pemilu, wartawan, dan pejabat negara/PNS), tugas belajar, pindah domisili, tertimpa bencana alam.
Selain itu, pemilih harus mendapatkan surat pindah memilih (formulir Model A5) yang diterbitkan oleh KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/KPPS setempat, yang akan diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/KPPS di lokasi TPS, tempat ia akan memilih. Penyerahan surat pindah memilih, harus dilengkapi dengan menunjukkan bukti identitas diri.
Pemilih tambahan yang telah melaporkan diri kepada KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/KPPS setempat, datanya dicatat dalam formulir DPTb (Model A4).
Pada saat pemungutan suara dilakukan, pemilih tambahan hanya dapat memberikan suara pada saat terakhir sebelum pemungutan suara dinyatakan usai, atau waktu telah mendekati pukul 12.00 waktu setempat. Itu pun, apa bila surat suara yang belum terpakai atau surat suara cadangan masih tersedia.
Apabila surat suara tidak tersedia, Ketua KPPS menganjurkan pemilih tambahan untuk memberikan suara di TPS lain yang terdekat, dengan memperhatikan batas waktu pemungutan suara pukul 12.00 waktu setempat.
Bagi pemilih tambahan yang dapat memberikan suara, Ketua KPPS memberikan 4 (empat) jenis surat suara, masing-masing surat suara untuk calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kecuali untuk TPS di Provinsi DKI Jakarta dan Luar Negeri.
(Diterbitkan Harian Singgalang)

Transparansi Dana Kampanye

Oleh : Husni Kamil Manik
Tahapan Kampanye Pemilu 2009, cukup panjang. Dimulai setelah 3 (tiga) hari, partai politik dan calon anggota DPD ditetapkan. Untuk partai politik, penetapan sebagai peserta pemilu telah diputuskan KPU pada tanggal 7 Juli 2008. Sedangkan calon anggota DPD baru ditetapkan pada tanggal 31 Oktober 2008.
Setiap kampanye membutuhkan biaya. Hanya saja, ada yang sekedar diperhitungkan, dan ada yang memang dibayarkan. Kampanye terhadap lingkungan terdekat seperti keluarga, teman, kenalan atau simpatisan, paling tidak membutuhkan waktu. Bukankah filosofi asing menyatakan time is money? Kalau pun pengertian money pada konteks itu tidak ditransaksikan.
Kampanye di luar lingkungan terdekat, pasti menimbulkan biaya. Kalau tidak sang caleg yang membayar, pasti ada orang yang lain yang akan berkorban. Walau hanya sekedar ongkos transportasi, sebungkus nasi atau secangkir kopi.
Apalagi jika melakukan kampanye dengan metoda yang telah diatur. Yaitu pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, menggunakan media cetak dan media elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, dan rapat umum. Keseluruhan membutuhkan biaya.
Dana kampanye pertama kali harus dilaporkan sesaat setelah pembukaan nomor rekening khusus di lembaga keuangan perbankan. Laporan awal tersebut meliputi nomor rekening dan jumlah saldo awal. Laporan awal harus sampai kepada KPU sesuai dengan tingkatan kepengurusan partai, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum dimulai pada tanggal 16 Maret 2009.
Dalam hal pengurus partai politik dan calon anggota DPD peserta pemilu tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU sesuai dengan tingkatan dan batas waktu yang ditetapkan, partai politik dan calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai saksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilu.
Pembiayaan untuk kampanye bersumber dari partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik yang bersangkutan, dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Sekecil apa pun penerimaan dan pengeluaraan kamapanye harus tercatat. Baik berupa uang atau pun barang. Pendanaan yang diterima dan dipergunakan partai maupun caleg harus terdaftar pada pembukuan.
Pembukuan dana kampanye dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik dan calon anggota DPD ditetapkan sebagai peserta pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Pembukuan ini yang menjadi dasar pembuatan laporan dana kampanye tah kedua.
Pelaporan dana kampanye tahap kedua atau terakhir, disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.
Jika pelaporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tersebut tidak diberikan sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka KPU mengenakan sanksi berupa tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi calon terpilih.
Dengan penerapan sistem pelaporan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, diharapkan peserta pemilu menjadi bagian dari upaya tercapainya penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia.
(Diterbitkan dalam rubrik Metrosiana, Pos Metro Padang)

Sabtu, 14 Februari 2009

Kotak Suara Metal, Efektif dan Efisien

Oleh : Husni Kamil Manik
Jika kotak suara pada Pemilu 1955 hingga 1997, umumnya terbuat dari kayu, sejak pelaksanaan Pemilu 2004, kotak suara telah diproduksi dengan bahan metal. Kotak suara yang terbuat dari kayu (papan atau triplek), diperuntukkan hanya satu kali pakai. Jadi, setelah pemungutan dan penghitungan suara usai, kotak suara pun selesai. KPU priode 2001-2007, beranggapan kondisi seperti ini merupakan pemborosan, dan harus diakhiri.
Pilihan kemudian, jatuh pada penggunaan kotak suara berbahan metal. Pilhan tersebut bertujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi yang optimal.
Tujuan efektifitas kotak suara yang terbuat dari metal, telah teruji pada Pemilu 2004. Ketika proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan, kotak suara tersebut dijadikan simbol akutanbilitas. Tidak hanya surat suara yang dimasukkan pada kotak suara, tetapi setelah penghitungan suara dilaksanakan, seluruh dokumen yang berisikan sertifikasi hasil penghitungan suara, dimasukkan pula ke dalam kotak suara.
Begitu tinggi akuntabilitas kotak suara. Apabila setiap dokumen, apakah surat suara atau sertifikasi berbentuk formulir penghitungan suara di berbagai tingkatan penghitungan suara. Jika telah masuk ke dalam kotak suara, maka proses pengeluarannya harus melalui acara resmi. Pelaksanaan acara resmi, hanya dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu (KPU, PPK, PPS, KPPS), dengan disaksikan pengawas pemilu dan saksi peserta pemilu.
Tujuan efisiensi kotak suara berbahan metal juga tercapai. Rencana penggunaan kotak suara warisan Pemilu 2004, pada Pemilu 2009, membuktikan bahwa kotak suara dari bahan metal dapat digunakan berulang beberapa kali. Minimal satu kali, dan tidak tertutup kemungkinan lebih dari satu kali. Tujuan efisiensi pun tercapai.
Kotak suara merupakan salah satu perlengkapan pemungutan suara yang termasuk kategori logistik Pemilu. Kotak suara yang digunakan pada Pemilu 2004, dirancang untuk memuat surat suara pada satu unit Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berjumlah maksimal 300 pemilih. Sementara, untuk Pemilu 2009, kotak suara diperuntukkan maksimal 500 pemilih.
Untuk pemenuhan kebutuhan pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2009, KPU menerbitkan Peraturan KPU No. 27 tahun 2008 tentang Kotak Suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada peraturan tersebut KPU menetapkan peruntukan, jenis, bentuk dan spesifikasi. Aturan ini, dijadikan pedoman dalam pengadaan tambahan kotak suara yang dibutuhkan.
Ketersedian kotak suara pada TPS, diperuntukkan dalam 4 (empat) keperluan, yaitu : kotak suara untuk surat suara Anggota DPR, kotak suara untuk surat suara Anggota DPD, kotak suara untuk surat suara Anggota DPRD Provinsi, kotak suara untuk surat suara Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Dengan jumlah TPS di Sumatera Barat 13.404 unit, kebutuhan kotak suara Pemilu 2009 di Sumatera Barat, mencapai 53.616 unit. Pada saat ini, inventaris kotak suara yang masih ada di gudang KPU Sumbar dan KPU Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat adalah 46.917 unit. Berarti kekurangan kotak suara di Sumatera Barat adalah 7.266 unit.
Berdasarkan penganggaran biaya pengadaan kotak suara, untuk Pemilu 2009 yang ditetapkan KPU, harga satu unit kotak suara Rp.250.000. Sedangkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan KPU Sumatera Barat adalah Rp.247.500.
Jika kotak suara yang tersedia dari inventaris Pemilu 2004, dikalikan harga HPS yang ditetapkan, maka diperoleh hasil pengalian tersebut sebesar Rp. 11.729.250.000,-(sebelas milyar tujuh ratus dua puluh Sembilan juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Sehingga, dapat dikatakan bahwa penggunaan kotak suara inventaris Pemilu 2004 di Sumatera Barat, hemat sekitar 12 milyar.
Meragukan Kapasistas Kotak Suara?
Menjelang pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, 9 April 2009. KPU atau lembaga lain telah pernah beberapa kali melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara. Tujuan utamanya adalah menguji tingkat pengetahuan masyarakat akan teknis pemungutan suara. Tapi sisi lain dari prosesi itu, juga diperhatikan. Misalnya, hubungan antara ukuran dan jumlah surat suara dengan kapasitas kotak suara.
Pada Pemilu 2009, jumlah pemilih pada satu TPS maksimal 500 orang. Berarti pada satu unit kotak suara akan diisi maksimal dengan 500 lembar surat suara. Belum termasuk kemungkinan pemilih tambahan dari TPS lain, yang surat suara cadangannya tersedia 2% dari jumlah pemilih atau 10 orang. Total maksimal surat suara yang akan dimasukkan ke dalam kotak suara adalah 510 lembar.
Keraguan muncul dari sejak tahapan memasukkan surat suara. Dengan memuat 38 partai politik, dan 120% jumlah calon yang ajukan pada masing-masing daerah pemilihan, maka KPU menetapkan ukuran satu lembar surat suara adalah 54 x 84 cm. Ukuran lembaran surat suara ini, setelah dilipat dalam 5 tahap, masih dianggap terlalu sempit untuk bisa masuk melalui lubang yang tersedia.
Ternyata tidak demikian faktanya. Saya telah mencoba sendiri memasukkan contoh lembar surat suara. Setelah terlipat sempurna, panjang lipatan surat suara hanya 13,5 cm. Sementara, panjang lubang kotak suara adalah 18 cm. Begitu pula dengan ketebalannya lipatan surat suara, lebih tipis dari lubang kotak suara.
Ukuran kotak suara Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 sama. Ukuran kotak suara dari bahan metal berkualitas baik adalah tinggi 60 cm, panjang 40 cm, lebar 40 cm, panjang celah/lubang pada tutup kotak suara 18 cm, lebar celah/lubang pada tutup kotak suara 1 cm, dan ketebalan 0,6 mm s/d 1 mm. Dengan ukuran demikian, diprediksikan akan mampu memuat 510 lembar surat suara.
(Terbit di Harian Umum Singgalang, 14 Februari 2009)

Senin, 09 Februari 2009

Saatnya Pemilih Mencentang…..

Oleh : Husni Kamil Manik
Benarkah Pemilu 2009, pemilih tidak lagi mecoblos? Pertanyaan seperti ini, sering terdengar di tengah masyarakat, apalagi kalau sedang membicarakan Pemilu 2009. Tema pertanyaan yang sama, beberapa kali pula, digunakan lembaga survey yang bertujuan untuk mengungkap dinamika Pemilu 2009.
Misalnya, International Foundation for Election System (IFES) yang melakukan survey terhadap 2.500 responden. Respondennya tersebar pada 25 provinsi di Indonesia. Survey IFES dilaksanakan antara bulan Agustus dan September 2008 dengan menggunakan wawancara tatap muka. Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah apakah saudara tahu cara pemilihan yang diterima pada Pemilu 2009?
Pada tiga bulan berikutnya, tepatnya pada 16-26 Desember 2008, Lembaga Survey Indo Barometer melakukan survey tentang pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap Pemilu 2009. Survey juga dilaksanakan secara nasional, dengan mewawancarai 1.200 responden yang tersebar di 33 provinsi. Tema pertanyaan yang sama, tetap menjadi sentra isu.
Hasil survey terbaru, walaupun menggunakan metoda berbeda dengan dua survey di atas. Tetapi masih membahas tema yang sama, dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dan International Foundation for Election System (IFES) di Jakarta dan Purwakata.
Survey ini, menggunakan metoda simulasi yang melibatkan 400 relawan, terdiri dari 200 relawan berada di Jakarta, dan 200 relawan berada di Purwakarta. Kegiatan simulasi dilaksanakan antara bulan Desember 2008 dan Januari 2009.
Penerapan cara pemberian suara Pemilu 2009, untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. Tata cara demikian, diatur pada pasal 153 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Aturan pemberian suara, dengan memberikan tanda, merupakan ide baru. Memberikan tanda, telah merubah tata cara pemberian suara yang pernah digunakan, selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sembilan kali sudah pemilu dilaksanakan, satu kali pemilihan langsung presiden, satu kali pemilihan langsung gubernur, dan satu kali pemilihan langsung bupati/walikota, seluruhnya menggunakan cara mencoblos.
Sehingga, rakyat terlanjur mengidentikkan, “pemilu, ya mencoblos”. Kalau akan pemilu, mereka siap-siap untuk mencoblos. Lantas, Kenapa cara memberikan tanda diterapkan? Pada ayat berikutnya, dijelaskan bahwa memberikan tanda, berdasarkan pada prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam menghitung suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Bagaimana tanggapan masyarakat ketika cara mencoblos digantikan cara memberikan tanda? Hasil survey IFES pada Bulan Agustus dan September (lima bulan setelah UU diberlakukan), mengungkap mayoritas responden (84%) masih beranggapan Pemilu 2009 menggunakan metoda mencoblos. Sementara 10% responden menyatakan tidak tahu. Dan yang menjawab dengan benar dengan menandai, hanya 4% responden.
Setelah tiga bulan kemudian, Indo Barometer menemukan jumlah responden yang menjawab, mengetahui cara memilih pada Pemilu 2009 dengan menandai, meningkat menjadi 24,6%. Sementara responden yang menjawab mencoblos menurun menjadi 63%.
Pada bulan yang sama, Formappi dan IFES mengadakan simulasi pemungutan suara di Purwakarta. Relawan yang mengikuti simulasi tersebut sebanyak 200 orang. Relawan yang menggunakan cara memilih yang benar 63%. Sedangkan simulasi yang diadakan di Jakarta pada Bulan Januari 2009, relawan yang menggunakan cara memilih yang benar mencapai 45%.
Grafik persentase data di atas, menunjukkan adanya perkembangan positif akan pengetahuan masyarakat terhadap informasi mengenai cara memilih. Perkembangan ini, dapat dijadikan inspirasi bagi pelaksanaan sosialiasi pemilu hingga pemungutan suara dilakukan.
Hingga kini, kegiatan sosialisasi pemilu yang terlaksana, dominan melalui perantaraan media. Ada yang dilakukan KPU, ada juga yang dilakukan Depkominfo, dan ada juga yang dilakukan partai politik beserta calon anngota dewan. Penggunaan media masih dianggap sebagai cara yang paling efektif.
Sementara KPU, menjadikan cara menggunakan media sebagai salah satu dari tiga strategi sosialisasi. Dua cara yang lain adalah tata muka, dan kemitraan dengan pengelola jejaring organisasi massa, LSM, komunitas masyarakat, atau partai politik.
Dalam dua bulan ke depan, KPU akan melakukan ketiga strategi tersebut secara bersamaan. Penggunaan media tetap jalan terus, tatap muka akan dilakukan lebih massal di tingkat PPK, PPS dan KPPS. Sedangkan kemitraan dengan pengelola jejaring ormas, LSM, kommas dan parpol, juga akan terlaksana.
Ketiga strategi tersebut, akan digunakan untuk mensosialisasikan bahwa perubahan cara memilih pada Pemilu 2009 tidaklah sulit. Menandai atau yang diistilahkan dengan mencentang atau istilah lain, tidaklah sesuatu yang asing pada masyarakat.
Walau masyarakat sudah terbiasa dengan mencoblos, bukan berarti masyarakat tidak terbiasa menandai. Hanya mungkin bagi mereka yang belum paham tentang perubahan tersebut, dikarenakan mereka belum memperoleh informasi yang sesungguhnya.
Mencentang tidak menggunakan huruf, tapi simbol. Sehingga, pemilih yang buta huruf harusnya dapat mencentang sendiri pilihannya. Tapi kalaupun, pemilih tersebut tidak mampu akibat keterbatasan yang dideranya, ia dapat meminta bantuan orang lain yang dipercayanya.
Dengan demikian, kita berharap, semangat perubahan yang termuat dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu dapat terlaksana. Jika maksud itu tercapat, maka kita dapat menyatakan : Saatnya setiap pemilih, bisa menggunakan hak pilihnya secara tepat dengan cara mencentang.
(Terbit pada Teras Minggu, Harian Padang Ekspres, 8 Februari 2009)

Minggu, 01 Februari 2009

Caleg Terpidana

Oleh : Husni Kamil Manik
Setelah Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR, DPD dan DPRD diputuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU), muncul masalah baru, yaitu persyaratan administrasi yang telah dilengkapi masing-masing calon pada saat pengajuan. Masalahnya adalah sang calon terlibat tindakan pidana yang melampaui batas toleransi undang-undang.
Adalah menjadi persyaratan bagi seorang bakal calon anggota DPR, DPD dan DPRD, untuk tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sebagai bukti kelengkapan administrasi, bakal calon harus mendapatkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana kelanjutan proses sang caleg pada pelaksanaan Pemilu? Apakah keberadaannya langsung dianulir dari DCT atau surat suara? Bagaimana pula kalau sang calon melakukan upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK)?
KPU melalui surat nomor : 111/15/I/2009, tertanggal 20 Januari 2009, menegaskan bahwa pengajuan PK terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih, setelah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA), sedangkan prosesnya dilakukan sebelum tanggal 17 Desember 2008, maka nama sang calon tetap tercantum dalam DCT dan surat suara.
Penetapan batasan waktu tanggal 17 Desember 2008, untuk pelaksanaan perubahan DCT, dimaksudkan agar proses tersebut tidak mengganggu kegiatan pencetakan dan pendistribusian surat suara. Sebagaimana yang telah direncanakan, setelah tanggal tersebut proses validasi surat suara dilakukan, dan selanjutnya dilaksanakan proses pencetakan dan pendistribusian.
Namun, apabila kemudian ternyata putusan PK menyatakan bahwa sang caleg terbukti melakukan tindak pidana, sementara putusannya diterbitkan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, maka melalui rapat pleno KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menyatakan bahwa sang calon tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon. Kemudian hasil rapat pleno tersebut disampaikan kepada PPK dan PPS agar nama sang caleg diinformasikan KPPS kepada pemilih bahwa sang caleg tidak lagi memenuhi syarat.
Tetapi, jika pengajuan PK dilakukan setelah tanggal 17 Desember 2008, sedangkan putusan kasasi MA menyatakan sang calon terbukti melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih, maka nama sang caleg dicoret dari DCT dan tidak dicantumkan dalam surat suara.
Apabila putusan PK, menyatakan sang caleg tidak terbukti melakukan tindak pidana dan putusannya diterbitkan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, maka melalui rapat pleno KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota memutuskan sang caleg tetap dinyatakan tidak memenuhi syarat calon dan tetap tidak tercantum pada DCT dan surat suara.
Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 81 tahun 1981, pasal 268 ayat (1) yang menyatakan bahwa putusan PK tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan kasasi.
Bagaimana jika calon yang telah masuk DCT, terkena status tersangka atau terdakwa pada tindak pidana dengan ancaman 5 (lima) tahun atau lebih? Sedangkan hingga pemungutan dan penghitungan suara putusan kasasi MA belum keluar.
Pada kasus ini, sang caleg masih tercantum dalam DCT dan surat suara. Jika sang caleg memperoleh suara, maka suara yang diperoleh masih diperhitungkan. Kenapa demikian? Sebab, perkara sang caleg belum memiliki kekuatan hukum yang tetap.
(Terbit pada Perspektif Edisi Minggu, Harian Padang Ekspres, 1 Februari 2009)

Kamis, 29 Januari 2009

Surat Suara

Oleh : Husni Kamil Manik
Hampir setiap hari pada sepakan ini, ada saja politisi yang bertanya kepada saya tentang surat suara. Umumnya mereka menanyakan warna dasar surat suara, tapi ada juga yang menanyakan tentang ukuran dan bentuk surat suara. Mungkin pada saat ini, masih ada yang masih bertanya-tanya tentang surat suara yang akan digunakan pada Pemilu 2009, maka tulisan ini memaparkan jenis, warna, bentuk dan ukuran surat suara berdasarkan peraturan KPU No.34 tahun 2008.
Surat suara calon anggota DPR dan DPRD adalah salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang memuat tanda gambar partai politik peserta pemilu, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.
Sedangkan surat suara calon anggota DPD adalah salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang memuat pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
Kedua jenis surat suara tersebut akan dibagikan untuk setiap pemilih yang hadir pada saat pemungutan suara, Hari Kamis tanggal 9 April 2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jenis surat suara untuk DPRD terbagi menjadi dua, yaitu surat suara calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga jumlah lembar surat suara yang diterima setiap pemilih adalah 4 (empat) lembar.
Misalnya, setiap pemilih pada TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat, akan memperoleh 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) I Sumatera Barat, 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat Daerah Pemilihan (Dapil) I, 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPRD Kota Padang Daerah Pemilihan (Dapil) I, dan 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat.
Dengan jumlah pemilih yang terdaftar pada TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti adalah 320 pemilih, terdiri dari 155 pemilih laki-laki dan 165 pemilih perempuan. Paling lambat satu hari sebelum pemungutan suara dilaksanakan, PPK Padang Utara harus selesai mendistribusikan surat suara ke setiap TPS di wilayah kerjanya, termasuk TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti.
Sesuai dengan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, jumlah surat suara yang tersedia di setiap TPS sebanyak jumlah pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTB) ditambah 2% (dua persen) dari DPT sebagai cadangan.
Surat suara berbentuk lembaran empat persegi panjang, terdiri dari 2 (dua) bagian, yang kemudian disebut bagian dalam dan bagian luar. Pada bagian dalam terdapat 2 (dua) bagian pula, yang disebut bagian atas dan bagian bawah.
Bagian atas memuat judul surat suara, logo KPU, dan logo Pemilu 2009, serta bagian bawah memuat nomor urut, nama, dan gambar parpol, serta nomor urut dan nama calon anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota tahun 2009.
Pada bagian luar, memuat tulisan surat suara pemilihan Umum Anggota DPR untuk Pemilu anggota DPR, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPD untuk Pemilu anggota DPD, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu anggota DPRD Provinsi, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dibuat dengan ketentuan : berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 54 x 84 cm, jenis kertas HVS 80 gram dan berwarna dasar putih.
Tanda gambar partai politik dicetak berwarna (empat sparasi warna), dengan cetakan surat suara dua muka (bolak-balik), biasa (konvensional dan hasil cetakan berkualitas baik. Dalam pencetakan surat suara harus memperhatikan posisi lipatan yang tidak mengena pada nama calon dan nama partai yang dapat mengakibatkan kerusakan surat suara.
Sementara surat suara untuk calon anggota DPD dibuat dengan ketentuan : berbentuk empat persegi panjang, vertikal, dengan ukuran 54 x 84 cm, jenis kertas HVS 80 gram dan berwarna dasar putih.
Tanda gambar/foto calon anggota DPD dicetak berwarna (empat sparasi warna), dengan cetakan surat suara dua muka (bolak-balik), biasa (konvensional dan hasil cetakan berkualitas baik. Catatan lain yang harus diperhatikan adalah ukuran surat suara untuk calon anggota DPD dapat disesuaikan dengan jumlah calon anggota DPD.
Pada bagian dalam surat suara untuk Pemilu anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota memuat tulisan berwarna dengan ketentuan :
a. Pada bagian atas, baris pertama ditulis perkataan “SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM” jenis huruf Times New Roman, dengan latar belakang mereh putih bertuliskan Pemilihan Umum 2009 dalam bentuk silhoute. Pada sebelah kiri terdapat logo Komisi Pemilihan Umum, sebelah kanan terdapat logo Pemilihan Umum 2009.
b. Baris kedua, ditulis perkataan “ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA”, dan
c. Baris ketiga, ditulis perkataan “DAERAH PEMILIHAN : Nama Provinsi/Kabupaten/Kota”.
Masih pada bagian dalam surat suara, sebelah bawah tulisan di atas, dicantumkan nomor urut parpol, tanda gambar partai politik, nama partai politik, nomor urut calon dan nama calon tetap. Tempat/ruang tanda gambar, nomor urut, dan nama masing-masing partai politik ukurannya disesuaikan secara proporsional, sedangkan bagian tengah kolom partai politik terdapat tanda gambar partai politik.
Pada bagian kiri dalam kolom tanda gambar partai politik peserta pemilu, dicantumkan nomor urut partai politik yang bersangkutan, dan pada bagian kanan dalam kolom tanda gambar partai politik ditulis nama partai politik. Pada bawah kolom partai politik ditulis nomor urut dan nama calon dengan kolom panjang 6 cm dan lebar 1 cm dengan garis kotak tebal, jarak antar kolom nama calon dengan lainnya berukuran 0,1 cm dan untuk lipatan berjaraj paling lebar 1 cm.
Susunan nomor dan tanda gambar partai politik berjajar dari kiri ke kanan di mulai dengan nomor urut terkecil, dan ada garis batas antara nama-nama partai politik yang terletak di bagian bawah paling lebar 0,1 cm.
Kolom nomor urut, tanda gambar, nama partai politik, nama calon anggota tetap dibagi menjadi 5 (lima) baris dan 8 (delapan) kolom. Baris pertama memuat nomor urut partai dari nomor urut 1 sampai dengan 8; baris kedua memuat nomor urut partai dari nomor urut 9 sampai dengan 16; baris ketiga memuat nomor urut partai dari nomor urut 17 sampai dengan 24; baris empat memuat nomor urut partai dari nomor urut 25 sampai dengan 32; Baris kelima memuat nomor urut partai dari nomor urut 33-34 sampai dengan 41-44.
Bagi surat suara Pemilu Anggota DPD, pada bagian dalam memuat :
a. Logo Komisi Pemilihan Umum sebelah kiri dan logo Pemilihan Umum 2009 sebelah kanan;
b. Tulisan yang terletak diantara logo Komisi Pemilihan Umum dan logo Pemilihan Umum 2009, terdiri 3 (tiga) baris, yaitu :
1) Baris pertama : SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM
2) Baris kedua : ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
3) Baris ketiga : Daerah Pemilihan
c. Pada halaman dalam surat suara DPD bagian bawah memuat kotak calon anggota DPD yang terbagi dalam nomor urut calon, foto calon, nama clon anggota DPD;
d. Ukuran kotak calon anggota DPD adalah 4 x 8,5 cm, di dalam kotak calon anggota DPD memuat kotak nomor urut ukuran 4 x 1 cm, foto calon anggota DPD ukuran 4 x 6 cm dan kotak nama calon DPD ukuran 4 x 1,5 cm.
Ukuran surat suara berlaku sama di seluruh daerah pemilihan di Indonesia kecuali daerah pemilihan yang jumlah calonnya melebihi 12 orang. Di Provinsi Sumatera Barat jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR sebanyak 2 (dua), jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPD sebanyak 1 (satu), jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPRD Provinsi sebanyak 5 (lima), dan daerah pemilihan Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 65 (enam puluh lima). Apabila dalam suatu daerah pemilihan partai politik tidak mengajukan nama calon, kolom partai politik tetap ada , dan kolom daftar calon diblok.
Pada bagian luar surat suara, tepatnya pada bagian kiri atas, tempat Ketua KPPS membubuhkan tanda tangannya, sebagai tanda legalisasi surat suara, terdapat tulisan yang berisi :
a. Baris pertama “SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM”.
b. Baris kedua “ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH”,
c. Baris ketiga “ DAERAH PEMILIHAN :………………………………………………………………”,
d. Baris keempat “KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA (KPPS)”,
e. Baris kelima “ 1. TPS DESA/KELURAHAN :…………………………………….”,
f. Baris keenam “2. KETUA :……………………………………………”, dan
g. Baris ketujuh “3. TANDA TANGAN :………………………………………………….”.
Beberapa politisi yang bertanya pada saya, rata-rata menanyakan warna dasar surat suara. Pada awalnya saya keheranan juga mendengarnya, tapi kemudian saya paham yang mereka maksud, setelah saya bertanya kembali pada mereka. Ternyata yang mereka dengar dari pihak lain adalah informasi adanya warna khusus untuk setiap jenis surat suara. Warna khusus pada surat suara yang membedakan antara surat suara satu dengan yang lain terletak pada bagian luar, tepatnya pada bagian kiri paling atas.
Jika surat suara terlipat, maka bagian terluar adalah bagian yang ditanda tangani ketua KPPS, pada bagian itu pula terdapat warna khusus tersebut. Perbedaan warna tersebut sebagai berikut :
a. Warna dasar kuning, tulisan DPR warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat warna hitam;
b. Warna dasar merah, tulisan DPD warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Daerah warna hitam;
c. Warna dasar biru, tulisan DPRD Provinsi warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi warna hitam; dan
d. Warna dasar hijau, tulisan DPRD Kabupaten/Kota warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota warna hitam.
Bagaimana pun pengetahuan tentang surat suara adalah penting, terutama bagi politisi yang sedang berkompetisi pada Pemilu 2009. Karena pada surat suaralah cermin nyata suara rakyat yang dikumpulkan pada saat pemungutan suara.
(Diterbitkan pada Harian Umum Singgalang pada tanggal 31 Januari 2009, dan disambung pada Hari Senin, tanggal 1 Februari 2009)

Senin, 19 Januari 2009

Politisi Perempuan dan Suara Terbanyak

Oleh : Husni Kamil Manik

Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 merupakan era baru bagi perempuan khususnya politisi perempuan, karena pada proses pencalonan anggota DPR dan DPRD posisi perempuan mendapat proporsi yang baik, terutama pada pengaturan komposisi minimal 1 (satu) perempuan pada setiap 3 (tiga) orang calon sesuai dengan pasal 55 Undang-Undang (UU) No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan ini secara langsung telah mempengaruhi urutan penempatan calon dalam daftar yang diajukan partai. Minimal pada setiap daerah pemilihan (dapil), partai politik yang mengajukan lebih dari 2 (dua) calon harus menempatkan perempuan minimal sebagai calon nomor urut 3 (tiga).
Perempuan dianggap menjadi pihak yang diuntungkan dengan pengaturan pasal 55 tersebut. Begitu pula beberapa calon perempuan yang sempat berkomunikasi dengan saya, menyampaikan keinginannya memanfaatkan peluang tersebut agar mendapatkan posisi nomor urut yang terkecil dari partainya. Faktanya, hingga KPU menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dan DPRD, calon perempuan dominan menempati nomor urut 3 (tiga) dan sebagian yang lain berada pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua). Paling tidak anggapan tersebut menguat sebelum Mahkamah Konsitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap pasal 214 pada UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih, yang dominan menguntungkan calon dengan nomor urut terkecil.
Akibat penghapusan pasal 214 menyebabkan mekanisme penetapan calon terpilih tidak lagi menggunakan : (1) Proporsi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam internal partai, karena tidak ada lagi pengaturan prioritas terpilih berdasarkan proporsi perolehan suara 100% dan 30%, (2) Prioritas nomor urut terkecil baik pada pencapaian Proporsi perolehan suara 30% atau kurang. Kedua akibat tersebut dianggap secara serta-merta merubah mekanisme penetapan calon terpilih menggunakan suara terbanyak.
Apakah keinginan perempuan terpilih menjadi anggota DPR dan DPRD harus pupus dengan penggunaan mekanisme suara terbanyak? Apalagi mereka yang telah berada pada nomor urut 1, 2, dan 3?
Ada data yang menarik untuk menjawab pertanyaan yang seakan meragukan peluang perempuan untuk terpilih dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak. Data tersebut saya peroleh dari dokumen penetapan hasil penghitungan suara anggota DPR yang saat ini dipublikasi pula oleh KPU Sumbar pada website: http://kpu-sumbarprov.go.id.
Data tersebut adalah perolehan suara Hj.Farida Tanri Abeng yang dicalonkan Partai Golkar di Dapil Sumbar II pada Pemilu 2004. Oleh partainya, HJ.Farida diletakkan pada nomor urut 4, berada setelah ketiga calon yang keseluruhannya adalah laki-laki. Perolehan suara Hj. Farida adalah 40.943, lebih tinggi dari H.Djusril Djusan (nomor urut 2) 37.482, H. Darul Siska (nomor urut 1) 31.386, dan H.Andi Wahab Dt.Majo Kayo (nomor urut 3) 20.578.
Dengan total perolehan suara 256.355, Partai Golkar memperoleh 2 (dua) dari 6 (enam) kursi yang diperebutkan pada Dapil Sumbar II. Sehingga berdasarkan UU. No.12/2003, yang menggunakan metoda penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut, menetapkan H. Darul Siska-nomor urut 1 dan H.Djusril Djusan-nomor urut 2 (setelah meninggal digantikan H. Andi Wahab-nomor urut 3).
Perolehan suara Hj. Farida menarik dijadikan contoh bagi politisi perempuan dalam memupuk semangat berkompetisi. Nomor urutnya lebih rendah dari politisi perempuan partai lain di dapil yang sama seperti Hamidah Hamid (P.Demokrat-nomor urut 1), Hj. Salviyah Prawiranegara (PPIB-nomor urut 2), Hj.Nurdiati Akma (PAN-nomor urut 2), Ade Fitri Dona (PKPI-nomor urut 2), Silviya Wahyuni Harahap (PPNUI-nomor urut 2), Hj.Aisjatul Natsir (PBB-nomor urut 3), dan Dini Rahmani (PKB-nomor urut 3).
Tetapi perolehan suara Hj. Farida mengungguli rekan sejawatnya separtai yang laki-laki dan perempuan, begitu pula dengan sesama politisi perempuan dari partai lain. Bahkan perolehan suara Hj. Farida merupakan perolehan suara tertinggi pada Dapil Sumbar II. Mungkinkah prestasi politisi perempuan seperti Hj. Farida terulang kembali?
Selamat tinggal nomor urut, selamat datang politisi perempuan. Kompetisi pada Pemilu 2009 merupakan wahana merebut perhatian pemilih tanpa harus berlindung pada posisi nomor urut, di mana pun letaknya, politisi perempuan memiliki peluang yang sama dengan politisi laki-laki.

Awas, Kekerasan Politik !!!

Oleh : Husni Kamil Manik

Keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara 22-24/PUU-VI/2008, menyangkut pengujian materi pasal 214 undang-undang No.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR. DPD dan DPRD, telah merubah warna demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih substansi.
Materi pasal 214 UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih pada pemilu 2009, dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang termaktub pada pasal 1 ayat (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28 ayat (3), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, dan mengancam kedaulatan rakyat.
Konsekuensi keputusan MK tersebut adalah peningkatan nilai suara rakyat menjadi lebih penting, sebab mekanisme penetapan calon terpilih telah berubah dari dominasi nomor urut (pasal 214 huruf a s/d e) menjadi suara terbanyak. Sehingga dalam penentuan calon terpilih 1 (satu) suara dapat menentukan siapa yang menjadi calon terpilih.
Sebagai ilustrasi misalnya, partai Y yang memiliki 12 (dua belas) calon pada daerah pemilihan (dapil) II Provinsi Z. Dalam daftar calon, partai Y telah menempatkan ketua dan wakil sekretaris partai masing-masing pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua), sementara nomor urut 3 (tiga) hingga 12 (dua belas) merupakan pengurus teras partai dan kader partai.
Pada saat rekapitulasi penghitungan suara dilaksanakan KPU di tingkat Provinsi Z, partai Y memperoleh 2 (dua) kursi dari 10 (sepuluh) kursi yang diperebutkan pada dapil II. Langkah selanjutnya yang dilakukan KPU Provinsi Z adalah memisahkan perolehan suara yang menandai lambang partai dengan jumlah perolehan suara masing-masing calon partai Y yang berjumlah 12 (dua belas) orang, mulai dari nomor urut 1(satu) sampai 12 (dua belas).
Secara simulatif hasil rekapitulasi penghitungan suara partai Y 66.191, terinci sebagai berikut : (1) jumlah suara yang menandai lambang partai adalah 20.435, (2) jumlah suara yang menandai nomor urut atau nama calon 1 (satu) sampai 12 (dua belas) adalah 45.756. Setelah diteliti dengan seksama, perolehan suara terbanyak didapatkan calon nomor urut 12 (dua belas) 7.568, disusul nomor urut 5 (lima) 7.475. Sedangkan perolehan suara nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) masing-masing 7.474 dan 7.473.
Karena partai Y hanya memperoleh alokasi kursi sebanyak 2 (dua), maka KPU menetapkan calon terpilih pertama adalah nomor urut 12 (dua belas) dan disusul nomor urut 5 (lima), walaupun nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) adalah petinggi partai dan selisih perolehan suara nomor urut 5 (lima) dengan nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) hanya berbeda masing-masing 1 (satu) suara.
Potensi Kekerasan Politik
Ilustrasi di atas, memang sengaja didramatisir sedemikian rupa sehingga menemukan makna mendasar dari pentingnya setiap suara pemilih. Tidak berlebihan kalau kita memakai istilah “satu suara, sangat bermakna”. Tetapi di balik pemaknaan suara yang semakin mencerminkan kedaulatan rakyat, ada suatu masalah yang penting kita kecermati bersama agar tidak menodai proses demokrasi yang terjadi melalui pemilu. Masalah itu adalah potensi kekerasan politik dalam pelaksanaan pemilu.
Hingga saat ini, tahapan pemilu telah mencapai pada penyelenggaraan kampanye. Lima tahapan yang telah terlaksana adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan, dan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD.
Ada lima tahapan pemilu yang sedang dan akan dilaksanakan pasca terbitnya keputusan MK. Kelima tahapan tersebut adalah kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pelantikan calon terpilih. Kelima tahapan ini memiliki potensi kerawanan masing-masing.
Kampanye misalnya, kegiatan peserta pemilu yang ditujukan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program, akan menjadi lebih ramai dan berwarna. Dengan diakomodirnya penerapan suara terbanyak, menumbuhkan motivasi baru bagi para calon yang berada pada nomor urut besar. Apalagi mereka yang selama ini telah memiliki “modal sosial” yang tinggi seperti ninik-mamak kampuang/nagari, alim-ulama, cadiak-pandai, bundo kanduang, dan peran lain di masyarakat.
Penerapan sistem suara terbanyak merubah orientasi pelaksanaan kampanye yang semula bertumpu pada perolehan suara partai, berubah menjadi bertumpu pada perolehan suara perorangan. Sehingga menyebabkan setiap orang berkepentingan mendapat jadwal dan lokasi kampanye yang strategis dalam ukuran mereka.
Jika kita hitung secara statistik jumlah calon yang masuk dalam Daftar Calon Tetatap (DCT) anggota DPR, DPD, dan DPRD daerah pemilih di wilayah Prov.Sumbar. Maka terdapat 8.231 orang calon yang terdiri dari 7.691 orang DPRD Kabupaten/Kota, 748 orang DPRD Prov.Sumbar, 228 orang DPR, dan 42 orang DPD.
Jumlah calon yang mencapai ribuan ini, sangat berpotensi menimbulkan konflik. Kemungkinan konflik dapat terjadi dengan sesama calon dalam satu partai, calon beda partai dan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kampanye. Konflik ini lah yang berpotensi menimbulkan kekerasan politik pada tahapan kampanye.
Setelah tahapan kampanye berlalu, masa tenang pun datang. Masa yang diperuntukkan sebagai jeda/istirahat sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Pada masa tenang, tidak dibenarkan lagi adanya pelaksanaan semua jenis kampanye termasuk pemasangan alat peraga kampanye.
Namun pengalaman pemilu terdahulu menunjukkan bahwa masa tenang banyak dimanfaatkan sebagai waktu terakhir untuk mendapatkan simpatik masyarakat terhadap partai maupun perorangan seperti yang pernah dilaporkan Panwaslu Sumbar pada pemilu 2004. Selain itu, masa tenang rawan terjadinya “politik uang”, mungkin modusnya tidak hanya cash money, tapi juga dalam bentuk natura. Politik uang, dapat juga dikatakan bentuk lain kekarasan politik.
Pada saat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, partai akan mengutus saksi dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan agar KPPS tidak melakukan kecurangan yang merugikan partainya. Karena perubahan orientasi akibat penerapan suara terbanyak, sangat besar kemungkinan saksi juga akan ditumpangi kepentingan calon.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mana yang lebih didahulukan, kepentingan partai atau calon per calon? Atau untuk calon yang mana saksi akan berpihak? Sementara bayaran terhadap saksi akan lebih besar diberikan calon dibanding yang diperoleh dari partai. Kekerasan politik sangat mungkin terjadi antara partai dengan saksi, calon dengan saksi, saksi dengan KPPS, dan saksi dengan pemilih.
Puncak kekerasan politik mungkin terjadi pada saat penetapan alokasi kursi dan calon terpilih. Sebagaimana telah diilustrasikan di atas, selisih satu suara saja, seorang ketua atau pimpinan partai tidak terpilih karena kalah satu suara dengan calon di bawahnya. Jika pimpinan partai tersebut dengan ikhlas menerima kenyataan tersebut, maka tidak akan terjadi konflik. Tetapi apabila pimpinan partai tidak dapat menerima, maka calon terpilih dapat saja dipecat sebagai anggota partai secara semena-mena.
Begitu pula kekerasan politik mungkin terjadi pada saat pelantikan dilaksanakan. Mereka yang belum menerima kekalahan mungkin akan berusaha menghalang-halangi atau bahkan berupaya menggagalkan prosesi pelantikan.Semua kita punya kepentingan agar pemilu 2009 berjalan sukses tanpa dicederai tindakan kekerasan politik. Sehingga penerapan system penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak tidak melarutkan partai politik pada suasana persaingan antara calon, tapi juga memikirkan antisipasi potensi terjadinya kekerasan politik pada lima tahapan tersisa.