Kamis, 29 Januari 2009

Surat Suara

Oleh : Husni Kamil Manik
Hampir setiap hari pada sepakan ini, ada saja politisi yang bertanya kepada saya tentang surat suara. Umumnya mereka menanyakan warna dasar surat suara, tapi ada juga yang menanyakan tentang ukuran dan bentuk surat suara. Mungkin pada saat ini, masih ada yang masih bertanya-tanya tentang surat suara yang akan digunakan pada Pemilu 2009, maka tulisan ini memaparkan jenis, warna, bentuk dan ukuran surat suara berdasarkan peraturan KPU No.34 tahun 2008.
Surat suara calon anggota DPR dan DPRD adalah salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang memuat tanda gambar partai politik peserta pemilu, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.
Sedangkan surat suara calon anggota DPD adalah salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang memuat pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
Kedua jenis surat suara tersebut akan dibagikan untuk setiap pemilih yang hadir pada saat pemungutan suara, Hari Kamis tanggal 9 April 2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jenis surat suara untuk DPRD terbagi menjadi dua, yaitu surat suara calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga jumlah lembar surat suara yang diterima setiap pemilih adalah 4 (empat) lembar.
Misalnya, setiap pemilih pada TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat, akan memperoleh 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) I Sumatera Barat, 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat Daerah Pemilihan (Dapil) I, 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPRD Kota Padang Daerah Pemilihan (Dapil) I, dan 1 (satu) lembar surat suara untuk memilih calon anggota DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat.
Dengan jumlah pemilih yang terdaftar pada TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti adalah 320 pemilih, terdiri dari 155 pemilih laki-laki dan 165 pemilih perempuan. Paling lambat satu hari sebelum pemungutan suara dilaksanakan, PPK Padang Utara harus selesai mendistribusikan surat suara ke setiap TPS di wilayah kerjanya, termasuk TPS 1 Kelurahan Lolong Belanti.
Sesuai dengan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, jumlah surat suara yang tersedia di setiap TPS sebanyak jumlah pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTB) ditambah 2% (dua persen) dari DPT sebagai cadangan.
Surat suara berbentuk lembaran empat persegi panjang, terdiri dari 2 (dua) bagian, yang kemudian disebut bagian dalam dan bagian luar. Pada bagian dalam terdapat 2 (dua) bagian pula, yang disebut bagian atas dan bagian bawah.
Bagian atas memuat judul surat suara, logo KPU, dan logo Pemilu 2009, serta bagian bawah memuat nomor urut, nama, dan gambar parpol, serta nomor urut dan nama calon anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota tahun 2009.
Pada bagian luar, memuat tulisan surat suara pemilihan Umum Anggota DPR untuk Pemilu anggota DPR, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPD untuk Pemilu anggota DPD, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu anggota DPRD Provinsi, atau surat suara pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dibuat dengan ketentuan : berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 54 x 84 cm, jenis kertas HVS 80 gram dan berwarna dasar putih.
Tanda gambar partai politik dicetak berwarna (empat sparasi warna), dengan cetakan surat suara dua muka (bolak-balik), biasa (konvensional dan hasil cetakan berkualitas baik. Dalam pencetakan surat suara harus memperhatikan posisi lipatan yang tidak mengena pada nama calon dan nama partai yang dapat mengakibatkan kerusakan surat suara.
Sementara surat suara untuk calon anggota DPD dibuat dengan ketentuan : berbentuk empat persegi panjang, vertikal, dengan ukuran 54 x 84 cm, jenis kertas HVS 80 gram dan berwarna dasar putih.
Tanda gambar/foto calon anggota DPD dicetak berwarna (empat sparasi warna), dengan cetakan surat suara dua muka (bolak-balik), biasa (konvensional dan hasil cetakan berkualitas baik. Catatan lain yang harus diperhatikan adalah ukuran surat suara untuk calon anggota DPD dapat disesuaikan dengan jumlah calon anggota DPD.
Pada bagian dalam surat suara untuk Pemilu anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota memuat tulisan berwarna dengan ketentuan :
a. Pada bagian atas, baris pertama ditulis perkataan “SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM” jenis huruf Times New Roman, dengan latar belakang mereh putih bertuliskan Pemilihan Umum 2009 dalam bentuk silhoute. Pada sebelah kiri terdapat logo Komisi Pemilihan Umum, sebelah kanan terdapat logo Pemilihan Umum 2009.
b. Baris kedua, ditulis perkataan “ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA”, dan
c. Baris ketiga, ditulis perkataan “DAERAH PEMILIHAN : Nama Provinsi/Kabupaten/Kota”.
Masih pada bagian dalam surat suara, sebelah bawah tulisan di atas, dicantumkan nomor urut parpol, tanda gambar partai politik, nama partai politik, nomor urut calon dan nama calon tetap. Tempat/ruang tanda gambar, nomor urut, dan nama masing-masing partai politik ukurannya disesuaikan secara proporsional, sedangkan bagian tengah kolom partai politik terdapat tanda gambar partai politik.
Pada bagian kiri dalam kolom tanda gambar partai politik peserta pemilu, dicantumkan nomor urut partai politik yang bersangkutan, dan pada bagian kanan dalam kolom tanda gambar partai politik ditulis nama partai politik. Pada bawah kolom partai politik ditulis nomor urut dan nama calon dengan kolom panjang 6 cm dan lebar 1 cm dengan garis kotak tebal, jarak antar kolom nama calon dengan lainnya berukuran 0,1 cm dan untuk lipatan berjaraj paling lebar 1 cm.
Susunan nomor dan tanda gambar partai politik berjajar dari kiri ke kanan di mulai dengan nomor urut terkecil, dan ada garis batas antara nama-nama partai politik yang terletak di bagian bawah paling lebar 0,1 cm.
Kolom nomor urut, tanda gambar, nama partai politik, nama calon anggota tetap dibagi menjadi 5 (lima) baris dan 8 (delapan) kolom. Baris pertama memuat nomor urut partai dari nomor urut 1 sampai dengan 8; baris kedua memuat nomor urut partai dari nomor urut 9 sampai dengan 16; baris ketiga memuat nomor urut partai dari nomor urut 17 sampai dengan 24; baris empat memuat nomor urut partai dari nomor urut 25 sampai dengan 32; Baris kelima memuat nomor urut partai dari nomor urut 33-34 sampai dengan 41-44.
Bagi surat suara Pemilu Anggota DPD, pada bagian dalam memuat :
a. Logo Komisi Pemilihan Umum sebelah kiri dan logo Pemilihan Umum 2009 sebelah kanan;
b. Tulisan yang terletak diantara logo Komisi Pemilihan Umum dan logo Pemilihan Umum 2009, terdiri 3 (tiga) baris, yaitu :
1) Baris pertama : SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM
2) Baris kedua : ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
3) Baris ketiga : Daerah Pemilihan
c. Pada halaman dalam surat suara DPD bagian bawah memuat kotak calon anggota DPD yang terbagi dalam nomor urut calon, foto calon, nama clon anggota DPD;
d. Ukuran kotak calon anggota DPD adalah 4 x 8,5 cm, di dalam kotak calon anggota DPD memuat kotak nomor urut ukuran 4 x 1 cm, foto calon anggota DPD ukuran 4 x 6 cm dan kotak nama calon DPD ukuran 4 x 1,5 cm.
Ukuran surat suara berlaku sama di seluruh daerah pemilihan di Indonesia kecuali daerah pemilihan yang jumlah calonnya melebihi 12 orang. Di Provinsi Sumatera Barat jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR sebanyak 2 (dua), jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPD sebanyak 1 (satu), jumlah daerah pemilihan Pemilu Anggota DPRD Provinsi sebanyak 5 (lima), dan daerah pemilihan Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 65 (enam puluh lima). Apabila dalam suatu daerah pemilihan partai politik tidak mengajukan nama calon, kolom partai politik tetap ada , dan kolom daftar calon diblok.
Pada bagian luar surat suara, tepatnya pada bagian kiri atas, tempat Ketua KPPS membubuhkan tanda tangannya, sebagai tanda legalisasi surat suara, terdapat tulisan yang berisi :
a. Baris pertama “SURAT SUARA PEMILIHAN UMUM”.
b. Baris kedua “ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA, atau ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH”,
c. Baris ketiga “ DAERAH PEMILIHAN :………………………………………………………………”,
d. Baris keempat “KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA (KPPS)”,
e. Baris kelima “ 1. TPS DESA/KELURAHAN :…………………………………….”,
f. Baris keenam “2. KETUA :……………………………………………”, dan
g. Baris ketujuh “3. TANDA TANGAN :………………………………………………….”.
Beberapa politisi yang bertanya pada saya, rata-rata menanyakan warna dasar surat suara. Pada awalnya saya keheranan juga mendengarnya, tapi kemudian saya paham yang mereka maksud, setelah saya bertanya kembali pada mereka. Ternyata yang mereka dengar dari pihak lain adalah informasi adanya warna khusus untuk setiap jenis surat suara. Warna khusus pada surat suara yang membedakan antara surat suara satu dengan yang lain terletak pada bagian luar, tepatnya pada bagian kiri paling atas.
Jika surat suara terlipat, maka bagian terluar adalah bagian yang ditanda tangani ketua KPPS, pada bagian itu pula terdapat warna khusus tersebut. Perbedaan warna tersebut sebagai berikut :
a. Warna dasar kuning, tulisan DPR warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat warna hitam;
b. Warna dasar merah, tulisan DPD warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Daerah warna hitam;
c. Warna dasar biru, tulisan DPRD Provinsi warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi warna hitam; dan
d. Warna dasar hijau, tulisan DPRD Kabupaten/Kota warna putih, tulisan Surat Suara Pemilihan Umum 2009 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota warna hitam.
Bagaimana pun pengetahuan tentang surat suara adalah penting, terutama bagi politisi yang sedang berkompetisi pada Pemilu 2009. Karena pada surat suaralah cermin nyata suara rakyat yang dikumpulkan pada saat pemungutan suara.
(Diterbitkan pada Harian Umum Singgalang pada tanggal 31 Januari 2009, dan disambung pada Hari Senin, tanggal 1 Februari 2009)

Senin, 19 Januari 2009

Politisi Perempuan dan Suara Terbanyak

Oleh : Husni Kamil Manik

Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 merupakan era baru bagi perempuan khususnya politisi perempuan, karena pada proses pencalonan anggota DPR dan DPRD posisi perempuan mendapat proporsi yang baik, terutama pada pengaturan komposisi minimal 1 (satu) perempuan pada setiap 3 (tiga) orang calon sesuai dengan pasal 55 Undang-Undang (UU) No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan ini secara langsung telah mempengaruhi urutan penempatan calon dalam daftar yang diajukan partai. Minimal pada setiap daerah pemilihan (dapil), partai politik yang mengajukan lebih dari 2 (dua) calon harus menempatkan perempuan minimal sebagai calon nomor urut 3 (tiga).
Perempuan dianggap menjadi pihak yang diuntungkan dengan pengaturan pasal 55 tersebut. Begitu pula beberapa calon perempuan yang sempat berkomunikasi dengan saya, menyampaikan keinginannya memanfaatkan peluang tersebut agar mendapatkan posisi nomor urut yang terkecil dari partainya. Faktanya, hingga KPU menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dan DPRD, calon perempuan dominan menempati nomor urut 3 (tiga) dan sebagian yang lain berada pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua). Paling tidak anggapan tersebut menguat sebelum Mahkamah Konsitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap pasal 214 pada UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih, yang dominan menguntungkan calon dengan nomor urut terkecil.
Akibat penghapusan pasal 214 menyebabkan mekanisme penetapan calon terpilih tidak lagi menggunakan : (1) Proporsi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam internal partai, karena tidak ada lagi pengaturan prioritas terpilih berdasarkan proporsi perolehan suara 100% dan 30%, (2) Prioritas nomor urut terkecil baik pada pencapaian Proporsi perolehan suara 30% atau kurang. Kedua akibat tersebut dianggap secara serta-merta merubah mekanisme penetapan calon terpilih menggunakan suara terbanyak.
Apakah keinginan perempuan terpilih menjadi anggota DPR dan DPRD harus pupus dengan penggunaan mekanisme suara terbanyak? Apalagi mereka yang telah berada pada nomor urut 1, 2, dan 3?
Ada data yang menarik untuk menjawab pertanyaan yang seakan meragukan peluang perempuan untuk terpilih dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak. Data tersebut saya peroleh dari dokumen penetapan hasil penghitungan suara anggota DPR yang saat ini dipublikasi pula oleh KPU Sumbar pada website: http://kpu-sumbarprov.go.id.
Data tersebut adalah perolehan suara Hj.Farida Tanri Abeng yang dicalonkan Partai Golkar di Dapil Sumbar II pada Pemilu 2004. Oleh partainya, HJ.Farida diletakkan pada nomor urut 4, berada setelah ketiga calon yang keseluruhannya adalah laki-laki. Perolehan suara Hj. Farida adalah 40.943, lebih tinggi dari H.Djusril Djusan (nomor urut 2) 37.482, H. Darul Siska (nomor urut 1) 31.386, dan H.Andi Wahab Dt.Majo Kayo (nomor urut 3) 20.578.
Dengan total perolehan suara 256.355, Partai Golkar memperoleh 2 (dua) dari 6 (enam) kursi yang diperebutkan pada Dapil Sumbar II. Sehingga berdasarkan UU. No.12/2003, yang menggunakan metoda penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut, menetapkan H. Darul Siska-nomor urut 1 dan H.Djusril Djusan-nomor urut 2 (setelah meninggal digantikan H. Andi Wahab-nomor urut 3).
Perolehan suara Hj. Farida menarik dijadikan contoh bagi politisi perempuan dalam memupuk semangat berkompetisi. Nomor urutnya lebih rendah dari politisi perempuan partai lain di dapil yang sama seperti Hamidah Hamid (P.Demokrat-nomor urut 1), Hj. Salviyah Prawiranegara (PPIB-nomor urut 2), Hj.Nurdiati Akma (PAN-nomor urut 2), Ade Fitri Dona (PKPI-nomor urut 2), Silviya Wahyuni Harahap (PPNUI-nomor urut 2), Hj.Aisjatul Natsir (PBB-nomor urut 3), dan Dini Rahmani (PKB-nomor urut 3).
Tetapi perolehan suara Hj. Farida mengungguli rekan sejawatnya separtai yang laki-laki dan perempuan, begitu pula dengan sesama politisi perempuan dari partai lain. Bahkan perolehan suara Hj. Farida merupakan perolehan suara tertinggi pada Dapil Sumbar II. Mungkinkah prestasi politisi perempuan seperti Hj. Farida terulang kembali?
Selamat tinggal nomor urut, selamat datang politisi perempuan. Kompetisi pada Pemilu 2009 merupakan wahana merebut perhatian pemilih tanpa harus berlindung pada posisi nomor urut, di mana pun letaknya, politisi perempuan memiliki peluang yang sama dengan politisi laki-laki.

Awas, Kekerasan Politik !!!

Oleh : Husni Kamil Manik

Keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara 22-24/PUU-VI/2008, menyangkut pengujian materi pasal 214 undang-undang No.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR. DPD dan DPRD, telah merubah warna demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih substansi.
Materi pasal 214 UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih pada pemilu 2009, dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang termaktub pada pasal 1 ayat (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28 ayat (3), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, dan mengancam kedaulatan rakyat.
Konsekuensi keputusan MK tersebut adalah peningkatan nilai suara rakyat menjadi lebih penting, sebab mekanisme penetapan calon terpilih telah berubah dari dominasi nomor urut (pasal 214 huruf a s/d e) menjadi suara terbanyak. Sehingga dalam penentuan calon terpilih 1 (satu) suara dapat menentukan siapa yang menjadi calon terpilih.
Sebagai ilustrasi misalnya, partai Y yang memiliki 12 (dua belas) calon pada daerah pemilihan (dapil) II Provinsi Z. Dalam daftar calon, partai Y telah menempatkan ketua dan wakil sekretaris partai masing-masing pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua), sementara nomor urut 3 (tiga) hingga 12 (dua belas) merupakan pengurus teras partai dan kader partai.
Pada saat rekapitulasi penghitungan suara dilaksanakan KPU di tingkat Provinsi Z, partai Y memperoleh 2 (dua) kursi dari 10 (sepuluh) kursi yang diperebutkan pada dapil II. Langkah selanjutnya yang dilakukan KPU Provinsi Z adalah memisahkan perolehan suara yang menandai lambang partai dengan jumlah perolehan suara masing-masing calon partai Y yang berjumlah 12 (dua belas) orang, mulai dari nomor urut 1(satu) sampai 12 (dua belas).
Secara simulatif hasil rekapitulasi penghitungan suara partai Y 66.191, terinci sebagai berikut : (1) jumlah suara yang menandai lambang partai adalah 20.435, (2) jumlah suara yang menandai nomor urut atau nama calon 1 (satu) sampai 12 (dua belas) adalah 45.756. Setelah diteliti dengan seksama, perolehan suara terbanyak didapatkan calon nomor urut 12 (dua belas) 7.568, disusul nomor urut 5 (lima) 7.475. Sedangkan perolehan suara nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) masing-masing 7.474 dan 7.473.
Karena partai Y hanya memperoleh alokasi kursi sebanyak 2 (dua), maka KPU menetapkan calon terpilih pertama adalah nomor urut 12 (dua belas) dan disusul nomor urut 5 (lima), walaupun nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) adalah petinggi partai dan selisih perolehan suara nomor urut 5 (lima) dengan nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) hanya berbeda masing-masing 1 (satu) suara.
Potensi Kekerasan Politik
Ilustrasi di atas, memang sengaja didramatisir sedemikian rupa sehingga menemukan makna mendasar dari pentingnya setiap suara pemilih. Tidak berlebihan kalau kita memakai istilah “satu suara, sangat bermakna”. Tetapi di balik pemaknaan suara yang semakin mencerminkan kedaulatan rakyat, ada suatu masalah yang penting kita kecermati bersama agar tidak menodai proses demokrasi yang terjadi melalui pemilu. Masalah itu adalah potensi kekerasan politik dalam pelaksanaan pemilu.
Hingga saat ini, tahapan pemilu telah mencapai pada penyelenggaraan kampanye. Lima tahapan yang telah terlaksana adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan, dan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD.
Ada lima tahapan pemilu yang sedang dan akan dilaksanakan pasca terbitnya keputusan MK. Kelima tahapan tersebut adalah kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pelantikan calon terpilih. Kelima tahapan ini memiliki potensi kerawanan masing-masing.
Kampanye misalnya, kegiatan peserta pemilu yang ditujukan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program, akan menjadi lebih ramai dan berwarna. Dengan diakomodirnya penerapan suara terbanyak, menumbuhkan motivasi baru bagi para calon yang berada pada nomor urut besar. Apalagi mereka yang selama ini telah memiliki “modal sosial” yang tinggi seperti ninik-mamak kampuang/nagari, alim-ulama, cadiak-pandai, bundo kanduang, dan peran lain di masyarakat.
Penerapan sistem suara terbanyak merubah orientasi pelaksanaan kampanye yang semula bertumpu pada perolehan suara partai, berubah menjadi bertumpu pada perolehan suara perorangan. Sehingga menyebabkan setiap orang berkepentingan mendapat jadwal dan lokasi kampanye yang strategis dalam ukuran mereka.
Jika kita hitung secara statistik jumlah calon yang masuk dalam Daftar Calon Tetatap (DCT) anggota DPR, DPD, dan DPRD daerah pemilih di wilayah Prov.Sumbar. Maka terdapat 8.231 orang calon yang terdiri dari 7.691 orang DPRD Kabupaten/Kota, 748 orang DPRD Prov.Sumbar, 228 orang DPR, dan 42 orang DPD.
Jumlah calon yang mencapai ribuan ini, sangat berpotensi menimbulkan konflik. Kemungkinan konflik dapat terjadi dengan sesama calon dalam satu partai, calon beda partai dan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kampanye. Konflik ini lah yang berpotensi menimbulkan kekerasan politik pada tahapan kampanye.
Setelah tahapan kampanye berlalu, masa tenang pun datang. Masa yang diperuntukkan sebagai jeda/istirahat sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Pada masa tenang, tidak dibenarkan lagi adanya pelaksanaan semua jenis kampanye termasuk pemasangan alat peraga kampanye.
Namun pengalaman pemilu terdahulu menunjukkan bahwa masa tenang banyak dimanfaatkan sebagai waktu terakhir untuk mendapatkan simpatik masyarakat terhadap partai maupun perorangan seperti yang pernah dilaporkan Panwaslu Sumbar pada pemilu 2004. Selain itu, masa tenang rawan terjadinya “politik uang”, mungkin modusnya tidak hanya cash money, tapi juga dalam bentuk natura. Politik uang, dapat juga dikatakan bentuk lain kekarasan politik.
Pada saat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, partai akan mengutus saksi dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan agar KPPS tidak melakukan kecurangan yang merugikan partainya. Karena perubahan orientasi akibat penerapan suara terbanyak, sangat besar kemungkinan saksi juga akan ditumpangi kepentingan calon.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mana yang lebih didahulukan, kepentingan partai atau calon per calon? Atau untuk calon yang mana saksi akan berpihak? Sementara bayaran terhadap saksi akan lebih besar diberikan calon dibanding yang diperoleh dari partai. Kekerasan politik sangat mungkin terjadi antara partai dengan saksi, calon dengan saksi, saksi dengan KPPS, dan saksi dengan pemilih.
Puncak kekerasan politik mungkin terjadi pada saat penetapan alokasi kursi dan calon terpilih. Sebagaimana telah diilustrasikan di atas, selisih satu suara saja, seorang ketua atau pimpinan partai tidak terpilih karena kalah satu suara dengan calon di bawahnya. Jika pimpinan partai tersebut dengan ikhlas menerima kenyataan tersebut, maka tidak akan terjadi konflik. Tetapi apabila pimpinan partai tidak dapat menerima, maka calon terpilih dapat saja dipecat sebagai anggota partai secara semena-mena.
Begitu pula kekerasan politik mungkin terjadi pada saat pelantikan dilaksanakan. Mereka yang belum menerima kekalahan mungkin akan berusaha menghalang-halangi atau bahkan berupaya menggagalkan prosesi pelantikan.Semua kita punya kepentingan agar pemilu 2009 berjalan sukses tanpa dicederai tindakan kekerasan politik. Sehingga penerapan system penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak tidak melarutkan partai politik pada suasana persaingan antara calon, tapi juga memikirkan antisipasi potensi terjadinya kekerasan politik pada lima tahapan tersisa.