Minggu, 10 Mei 2009

Menyongsong Pemilu Presiden 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Nyaris luput dari perhatian publik Sumatera Barat, tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden telah dilalui 1 (satu) bulan lamanya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah melakukan kegiatan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih untuk keperluan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, di tengah perhatian publik yang masih tertuju pada masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Bukan hendak mengalihkan perhatian, tetapi KPU telah menetapkan Peraturan KPU No.10 Tahun 2009 tentang tahapan, program, dan jadual penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Peraturan tersebut, menetapkan tanggal 1 Maret 2009 sebagai permulaan tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, akan dilaksanakan 10 (sepuluh) tahapan. Termasuk di dalamnya jika terjadi pemilihan putaran kedua. Kesepuluh tahapan tersebut adalah pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih; pencalonan; pencetakan dan pendistribusian; kampanye; pemungutan suara dan penghitungan suara; pencetakan dan pendistribusian tahap II; kampanye tahap II; pemungutan suara dan penghitungan suara tahap II; penetapan hasil pemilu; serta pelantikan dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Setelah sebulan KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data pemilih, pada tanggal 1 April 2009 secara nasional Panitia Pemungutan Suara (PPS) mengumumkan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Pengumuman dilakukan selama 7 (tujuh) hari di tempat yang mudah dijangkau masyarakat, antara lain pada kantor PPS atau kantor Kepala Desa/Lurah/Nagari atau sebutan lainnya, dan balai pertemuan.
Pengumuman DPS bertujuan agar masyarakat mengetahui keberadaan daftar dan data orang yang sudah direkam KPU sebagai pemilih. Data DPS yang diumumkan sekurang-kurangnya memuat Nomor Induk Kependudukan, nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, umur, status perkawinan, jenis kelamin (L/P), alamat/tempat tinggal, dan keterangan lain jenis cacat yang disandang oleh pemilih (Peraturan KPU No.14/2009).
Data DPS yang diumumkan merupakan hasil pengolahan data DPT Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 dan ditambah dengan data penduduk potensial sebagai pemilih yang diperoleh dari Pemerintah Daerah melalui perangkat daerah yang menangani urusan kependudukan dan catatan sipil.
Jika pada pengumuman DPS terdapat data yang dianggap masyarakat salah, belum lengkap, atau tidak sepantasnya, maka masyarakat dapat memberikan tanggapan atau masukan kepada PPS, dengan membubuhkan identitas yang berlaku dan identitas yang dilaporkan secara lengkap dan jelas.
PPS mencatat masukan dan tanggapan masyarakat berupa keterangan/penjelasan tentang data pemilih yang menyangkut tentang :
a. Pemilih yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun pada hari dan tanggal pemungutan suara dan/atau sudah/pernah kawin, tapi belum terdapat pada DPS.
b. Pemilih mempunyai alamat dan tempat tinggal lebih dari 1 (satu) lokasi.
c. Pemilih yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009.
d. Pemilih yang sudah meninggal
e. Pemilih yang telah pindah domisili ke daerah lain, berdasarkan surat keterangan pindah dari instansi berwenang
f. Pemilih yang sudah berubah status dari anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Naasional Republik Indonesia menjadi warga sipil/purnatugas atau sebaliknya, harus dibuktikan dengan keputusan pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
g. Pemilih yang datanya terdapat kebutuhan perbaikan penulisan identitas
h. Pemilih yang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, PPS meneliti dan memperbaiki DPS selama 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman. DPS yang telah selesai diperbaiki dan disusun, kemudian ditandatangani oleh Ketua PPS dan anggota PPS sebagai legalisasi.
DPS hasil perbaikan yang telah ditandatangani, hanya dicetak 2 (dua) rangkap, masing-masing 1 (satu) rangkap disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK, dan 1 (satu) rangkap untuk arsip PPS. Dan tidak ada kewajiban memberikan DPS untuk partai politik sebagaimana pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
KPU Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPK menyusun dan menetapkan DPT berdasarkan DPS hasil perbaikan yang disampaikan PPS melalui PPK. Penetapan DPT berbasis TPS memperhatikan domisili pemilih berdasarkan RT/RW atau sebutan lain. Rancangan jumlah pemilih per TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS, ketentuan yang harus dipedomani adalah memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat. Ketentuan tersebut sebagai berikut : memudahkan pemilih; jarak tempuh menuju TPS; memperhatikan aspek geografis; tidak menggabungkan desa/kelurahan; dan batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara serta penghitungan suara.
Penetapan DPT di tingkat KPU Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 28 April 2009. Hal ini berarti, tahapan penyusunan daftar pemilih hanya berlangsung 4 (empat) minggu terhitung sejak pengumuman DPS.
Waktu penetapan DPT yang tersisa tidaklah lama. Apalagi jadwalnya bersamaan dengan tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tersisa. Tetapi waktu yang tersisa itu, menjadi sangat menentukan, apakah kualitas DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang baik dari Pemilu, Pilpres dan Pilkada masa lalu.
DPT yang baik, akan menjadi awal yang baik dalam menyongsong Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009.
(Diterbitkan harian Singgalang, bulan Maret 2009)

Dialog Imajiner Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Pasca pemungutan suara tanggal 9 April 2009, masalah yang terjadi pada setiap tahapan Pemilu 2009, seakan menarik untuk dijadikan isu politik. Dengan mudah dapat diduga, mereka yang mempolitisir isu tersebut berasal dari kalangan politikus.
Lain halnya dengan mereka yang dikemukakan dalam tulisan ini. Karena saya akan memperbincangkan dua sahabat yang merupakan kolumnis di Sumatera Barat. Mereka berdua, telah menulis tema pemilu dalam satu hari yang sama, pada Hari Minggu/26 April 2009, diterbitkan pada dua media harian yang berbeda.
Sahabat saya yang pertama bernama Erizal, SS menulis pada kolom Langgam di Halaman satu Harian Singgalang dengan judul Menang dalam “Pemilu Terburuk”. Dan sahabat saya yang kedua bernama Ampera Salim (AS) Patimarajo menulis kolom Bakambang Kato di Halaman 12 Harian Padang Ekspres dengan judul Ampok Biduak.
Erizal menyampaikan pokok pikirannya pada alinea ketiga yaitu “kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), logistik pemilu yang centang perenang, strategi sosialisasi yang amburadul, dan seterusnya, adalah bagian dari kelemahan atau kebrengsekan penyelenggara Pemilu yang begitu bebal terhadap masukan pengamat dan kurang maunya mereka belajar dengan baik dan sungguh-sungguh terhadap para pendahulunya”.
Sementara Patimarajo menulis pada bagian kedua kolom Bakambang Kato, sebagai berikut : “ungkapan Minangnya Ampok Biduak. Arti ungkapan adalah seseorang yang tidak mau mengakui kesalahan. Atau tidak mau mengakui kekalahan. Seperti dalam pemilihan umum, umpamanya. Setelah penyelenggara selesai melaksanakan pemungutan suara dengan baik, tiba-tiba ada yang menuduh telah terjadi kecurangan. Malah Pemilu mintak diulang. Seolah-olah pengulangan itu akan membuat pihaknya pasti jadi pemenang. Mestinya berprasangka baik sajalah. Jika segala sesuatunya sudah berjalan sesuai dengan ketentuan. Jangan ada lagi sifat selalu curiga. Sebab, bila selalu tak puas, akan mengundang strs. Panik”.
Kedua sahabat saya ini merupakan kolumnis muda yang produktif. Pandangan yang tuangkan dalam tulisan pada saat ini, seakan pantang untuk tidak dimuat di media massa di Sumatera Barat. Dua pandangan ini, jelas berbeda kutub. Erizal seakan berada pada kutub negatif, sementara Patimarajo berada pada kutub positif.
Saya menduga pandang yang mereka tuangkan dalam tulisan masing-masing sudah melalui dialog monologis. Masing-masing melontarkan pertanyaan, dan masing-masing pula mencoba menjawab pertanyaan yang mereka buat sendiri.
Saya ingin memposisikan berada di tengah pendapat mereka. Kepada keduanya, saya ingin menyampaikan bahwa masalah yang terjadi pada setiap penyelenggara Pemilu merupakan suatu keprihatinan tersendiri. Tidak hanya pengamat atau kolumnis yang acap kali mengatasnamakan rakyat atau kepentingan yang dipersepsikan terzalimi, tapi juga merupakan sikap penyelenggara Pemilu.
Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU berobsesi melaksanakan tugasnya dengan baik. Obsesi tersebut bukan pepesan kosong. Seluruh tahapan manajemen telah maksimal diupayakan. Perencanaan program dan tahapan telah dirumuskan sesaat setelah UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD diterbitkan. Penggerakan terhadap sumberdaya yang dimiliki KPU pun telah dilakukan. Pengawasan dan evaluasi pun telah pula dilaksanakan.
Mendengar penjelasan tersebut, mungkin Erizal akan kembali bertanya, “kenapa masalah tetap saja ada? Misalnya masalah DPT, logistik, dan sosialisasi”.
“Ketiga masalah tersebut dan mungkin masalah yang lain tidak berdiri sendiri, akibat kesalahan manajemen Pemilu”, tangkas Patimarajo.
Proses DPT dimulai dengan penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah kepada KPU, 12 bulan sebelum penyelenggaraan pemungutan suara. Ketika proses pencocokan dan penelitian (coklit) dilakukan dari rumah ke rumah, KPU menggunakan jasa petugas PPS dan PPDP yang direkomendasikan oleh aparat pemerintahan setingkat lurah/kepala desa/wali nagari. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber data utama DPT Pemilu 2009, yang dianggap bermasalah.
Tentang masalah logistik, hal yang menjadi sorotan adalah tertukarnya surat suara, kurangnya surat suara, kurangnya formulir, kualitas tinta yang rendah dan lain-lain, terjadi akibat kinerja pihak ketiga yang mengadakan barang dan jasa. Karena dalam spesifikasi yang ditetapkan KPU sudah melalui pembahasan yang ketat.
Sementara untuk masalah sosialisasi sampai saat ini, tidak ada alat ukur yang pasti sebagai bahan untuk menilai tingkat kebermasalahan sosialisasi. “Andai kata semua warga Indonesia mendapat informasi tentang Pemilu, tapi mereka tidak punya pilihan politik, bagaimana mereka akan mau menggunakan haknya? Atau mereka sudah punya pilihan politik tapi pada saat yang bersamaan mereka harus memenuhi kebutuhan nafkahnya, bagaimana pula mereka akan menggunakan haknya”, tanya Patimarajo bersemangat.
Bukannya menjawab pertanyaan Patimarajo, Erizal justru kembali bertanya,” tapi kenapa para tokoh penting di negeri ini mendeklarasikan suatu kesepakatan bersama bahwa Pemilu 2009 ini adalah “Pemilu Terburuk” selama dua kali Pemilu yang telah dilaksanakan di zaman reformasi?
“Adakah yang berkumpul di sana, berasal dari partai pemenang pemilu 2009? Patimarajo balik bertanya.
Sebelum Erizal menanggapi pertanyaan balik Patimarajo, Saya pun menyela dialog mereka. Saya menjelaskan bahwa atas permasalahan yang terjadi, Ketua KPU Prof.DR.H.A.Hafiz Ansyari, MA, telah minta maaf. Hal itu berarti, secara kelembagaan sudah ada pengakuan kehilafan kinerja secara kelembagaan.
“jika kita ingin membandingkan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 dengan Pemilu sebelumnya, tentu membutuhkan waktu yang cukup. Tidak mungkin hanya satu atau dua hari setelah pemungutan suara”, jelas Patimarajo.
“Apalagi saat ini, kehidupan keseharian masyarakat tidak terpengaruh pada domain menang-kalah yang sedang dirasakan peserta pemilu. Masyarakat sudah dapat menerima hasil pelaksanaan Pemilu, dan elit poltik pun sudah sibuk membangun koalisi berdasarkan hasil Pemilu 2009”, lanjut Patimarajo.
Keberlanjutan dialog yang lebih interaktif antar pandangan tersebut, mungkin akan muncul analisis yang lebih berwawasan dan objektif. Pandangan Erizal yang dipersepsikan berada pada kutub yang negatif, secara bertahap akan dapat bergerak menuju kutub positif. Begitu pula sebaliknya dengan pandangan Patimarajo yang akan bergerak dari kutub positif ke kutub negatif. Maka dialog ini bisa disebut menjadi dialog imajiner yang akan dapat menghasilkan pandangan yang lebih berwawasan dan objektif menilai baik atau buruknya Pemilu 2009.
(diterbitkan harian Singgalang, 5 Mei 2009)

Merayakan Hari Demokrasi

Oleh : Husni Kamil Manik
Pengakuan atas kedaulatan rakyat pada sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Kedaulatan rakyat akan menemukan makna substansinya, mana kala pelibatan rakyat secara langsung berpengaruh terhadap perubahan arah politik. Metoda pelibatan rakyat yang dimaksud adalah melalui penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu).

Rakyat Indonesia memiliki keinginan yang kuat untuk terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, adat-istiadat, agama, usia, jenis kelamin dan lainnya, pada dasarnya ingin berpartisipasi. Sebagai contoh, para kaum pergerakan petani yang tergabung dengan organisasi Serikat Petani Indonesia (SPI). Mereka mencoba menyuarakan aspirasi kedaulatan rakyat melalui manifesto organisasi yang dirumuskan pada tanggal 5 Desember 2007 di Wonosobo, sebagai berikut :

“Kami petani Indonesia, menuntut dipraktekkannya sistem politik Indonesia yang menegakkan kedaulatan rakyat. Kami akan terus berjuang untuk mewujudkan sistem politik yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mampu memajukan kesejahteraan umum, sanggup mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sanggup untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.”

Rujukan lain tentang pemikiran tegaknya kedaulatan rakyat, sering kali menempatkan pendapat JJ Rousseau dalam bukunya Contract, Sodale (1763) sebagai satu arah pandang. Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Bagaimana caranya agar manusia tetap moralis? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan harus diatur dan kedaulatan rakyat harus terjamin.

Karenanya pemilu dipandang menjadi momentum penyerahan mandat kedaulatan rakyat kepada perwakilannya. Jika kepemimpinan yang lama dianggap berhasil mengelola mandat kedaulatan, maka pada pelaksanaan pemilu, pilihan rakyat akan tetap berada pada partai atau politisi tersebut. Namun, jika rakyat tidak puas dengan kepemimpinan yang lama, maka mereka akan mencari alternatif pilihan.

Pemilu dirancang sedemikian rupa agar proses serah-terima mandat rakyat terjamin melalui regenerasi kepemimpinan yang berkelanjutan. Pemahaman akan arti penting pemilu tersebut, menghendaki berjalannya beberapa instrumen penting, yaitu : pemerintahan hanya sebagai fasilitator, penyelenggara yang tidak berpihak, peserta pemilu yang berkualitas, dan pemilih yang rasional-moralis.

Pada Pemilu 2009 ini, instrumen yang dimaksud telah terpandu dalam paket peraturan perundang-undang. Setidaknya ada 3 undang-undang (UU) yang dijadikan sebagai panduan peraturannya yaitu UU No.22/2007 tentang penyelenggara pemilu, UU No.2/2008 tentang partai politik, dan UU No.10/2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, semua komponen telah bersiap melaksanakan pemilu.

Pemerintah telah menjalankan fungsi fasilitasinya. Anggaran pemilu telah disediakan pada 2 tahun anggaran berturut-turut pada APBN dan APBD 2008-2009. Koordinasi antar instansi untuk menciptakan kondisi sosial, politik, hukum dan keamanan telah pula dilakukan. Tenaga kepegawaian telah pula ditugaskan untuk membantu Komisi pemilihan Umum (KPU). Begitu pula dengan kegiatan lain yang dibutuhkan demi suksesnya penyelenggaraan pemilu.

Upaya yang sama telah pula dilaksanakan KPU. Program dan tahapan pemilu telah terlaksana dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Hasil dari pelaksanaan program dan tahapan tersebut adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), peserta pemilu yang terdiri dari partai politik dan perorangan, penetapan alokasi kursi dan daerah pemilihan, calon anggota DPR, DPD dan DPRD, logistik pemilu, serta terbentuknya PPK, PPS dan KPPS. Keseluruhan pelaksanaan tahapan ini, mengarah pada puncak pelaksanaan pemilu, yaitu pemungutan dan penghitungan suara tanggal 9 April 2009.

Di sisi lain, peserta pemilu telah pula melakukan persiapan personil, manajemen pemenangan, dan program yang ditawarkan. Kemeriahan pengenalan diri peserta pemilu terlihat di mana-mana. Seperti kibaran bendera peserta pemilu melambai-lambai keberbagai arah. Gambar caleg menempel atau menggantung ditempat yang memungkinkan. Iklan media cetak mampu menutup sebagian besar halaman koran, majalah, tabloid, dan portal. Siaran televisi dan radio secara rutin menyampaikan propaganda.

Tak berhenti di sana, peserta pemilu pun tampak rajin mengikuti berbagai kegiatan masyarakat. Ada yang terencana dan ada pula yang tidak. Ada yang sekedar menjadi undangan, ada yang hadir sebagai pembicara, ada yang menjadi tuan rumah, ada pula yang hanya penyandang dana. Jika ada keramaian mereka berlomba-lomba ke sana. Ada kematian mereka kunjungi, ada perhelatan mereka datangi, ada bencana mereka sumbangi, ada perlombaan mereka biayai, ada perayaan hari keagamaan mereka berpartisipasi.

Melihat perhatian yang besar dari peserta pemilu, rakyat pun bergairah. Seorang tukang ojek misalnya, tak sungkan-sungkan bertanya ke kantor tim pemenangan. Mereka minta untuk selalu dilibatkan setiap kali ada kegiatan. Boleh pagi atau sore, boleh juga siang atau malam. Begitu pula sikap komponen rakyat lainnya yang bersedia berpartisipasi dalam perhelatan ini.

Pada akhirnya partisipasi semua pihak akan terlihat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di sana akan terlihat hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan. Apakah oleh pemerintah, KPU, peserta pemilu, dan rakyat sebagai pemilih. Di TPS pula, tersedia bilik temapat dilakukannya serah- terima mandat dari rakyat kepada wakilnya. Dan TPS pula secara simbolik menjadi ruang tempat rakyat merayakan harinya, hari demokrasi.