Senin, 19 Januari 2009

Awas, Kekerasan Politik !!!

Oleh : Husni Kamil Manik

Keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara 22-24/PUU-VI/2008, menyangkut pengujian materi pasal 214 undang-undang No.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR. DPD dan DPRD, telah merubah warna demokrasi di Indonesia ke arah yang lebih substansi.
Materi pasal 214 UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih pada pemilu 2009, dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang termaktub pada pasal 1 ayat (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28 ayat (3), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, dan mengancam kedaulatan rakyat.
Konsekuensi keputusan MK tersebut adalah peningkatan nilai suara rakyat menjadi lebih penting, sebab mekanisme penetapan calon terpilih telah berubah dari dominasi nomor urut (pasal 214 huruf a s/d e) menjadi suara terbanyak. Sehingga dalam penentuan calon terpilih 1 (satu) suara dapat menentukan siapa yang menjadi calon terpilih.
Sebagai ilustrasi misalnya, partai Y yang memiliki 12 (dua belas) calon pada daerah pemilihan (dapil) II Provinsi Z. Dalam daftar calon, partai Y telah menempatkan ketua dan wakil sekretaris partai masing-masing pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua), sementara nomor urut 3 (tiga) hingga 12 (dua belas) merupakan pengurus teras partai dan kader partai.
Pada saat rekapitulasi penghitungan suara dilaksanakan KPU di tingkat Provinsi Z, partai Y memperoleh 2 (dua) kursi dari 10 (sepuluh) kursi yang diperebutkan pada dapil II. Langkah selanjutnya yang dilakukan KPU Provinsi Z adalah memisahkan perolehan suara yang menandai lambang partai dengan jumlah perolehan suara masing-masing calon partai Y yang berjumlah 12 (dua belas) orang, mulai dari nomor urut 1(satu) sampai 12 (dua belas).
Secara simulatif hasil rekapitulasi penghitungan suara partai Y 66.191, terinci sebagai berikut : (1) jumlah suara yang menandai lambang partai adalah 20.435, (2) jumlah suara yang menandai nomor urut atau nama calon 1 (satu) sampai 12 (dua belas) adalah 45.756. Setelah diteliti dengan seksama, perolehan suara terbanyak didapatkan calon nomor urut 12 (dua belas) 7.568, disusul nomor urut 5 (lima) 7.475. Sedangkan perolehan suara nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) masing-masing 7.474 dan 7.473.
Karena partai Y hanya memperoleh alokasi kursi sebanyak 2 (dua), maka KPU menetapkan calon terpilih pertama adalah nomor urut 12 (dua belas) dan disusul nomor urut 5 (lima), walaupun nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) adalah petinggi partai dan selisih perolehan suara nomor urut 5 (lima) dengan nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua) hanya berbeda masing-masing 1 (satu) suara.
Potensi Kekerasan Politik
Ilustrasi di atas, memang sengaja didramatisir sedemikian rupa sehingga menemukan makna mendasar dari pentingnya setiap suara pemilih. Tidak berlebihan kalau kita memakai istilah “satu suara, sangat bermakna”. Tetapi di balik pemaknaan suara yang semakin mencerminkan kedaulatan rakyat, ada suatu masalah yang penting kita kecermati bersama agar tidak menodai proses demokrasi yang terjadi melalui pemilu. Masalah itu adalah potensi kekerasan politik dalam pelaksanaan pemilu.
Hingga saat ini, tahapan pemilu telah mencapai pada penyelenggaraan kampanye. Lima tahapan yang telah terlaksana adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan, dan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD.
Ada lima tahapan pemilu yang sedang dan akan dilaksanakan pasca terbitnya keputusan MK. Kelima tahapan tersebut adalah kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pelantikan calon terpilih. Kelima tahapan ini memiliki potensi kerawanan masing-masing.
Kampanye misalnya, kegiatan peserta pemilu yang ditujukan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program, akan menjadi lebih ramai dan berwarna. Dengan diakomodirnya penerapan suara terbanyak, menumbuhkan motivasi baru bagi para calon yang berada pada nomor urut besar. Apalagi mereka yang selama ini telah memiliki “modal sosial” yang tinggi seperti ninik-mamak kampuang/nagari, alim-ulama, cadiak-pandai, bundo kanduang, dan peran lain di masyarakat.
Penerapan sistem suara terbanyak merubah orientasi pelaksanaan kampanye yang semula bertumpu pada perolehan suara partai, berubah menjadi bertumpu pada perolehan suara perorangan. Sehingga menyebabkan setiap orang berkepentingan mendapat jadwal dan lokasi kampanye yang strategis dalam ukuran mereka.
Jika kita hitung secara statistik jumlah calon yang masuk dalam Daftar Calon Tetatap (DCT) anggota DPR, DPD, dan DPRD daerah pemilih di wilayah Prov.Sumbar. Maka terdapat 8.231 orang calon yang terdiri dari 7.691 orang DPRD Kabupaten/Kota, 748 orang DPRD Prov.Sumbar, 228 orang DPR, dan 42 orang DPD.
Jumlah calon yang mencapai ribuan ini, sangat berpotensi menimbulkan konflik. Kemungkinan konflik dapat terjadi dengan sesama calon dalam satu partai, calon beda partai dan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kampanye. Konflik ini lah yang berpotensi menimbulkan kekerasan politik pada tahapan kampanye.
Setelah tahapan kampanye berlalu, masa tenang pun datang. Masa yang diperuntukkan sebagai jeda/istirahat sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Pada masa tenang, tidak dibenarkan lagi adanya pelaksanaan semua jenis kampanye termasuk pemasangan alat peraga kampanye.
Namun pengalaman pemilu terdahulu menunjukkan bahwa masa tenang banyak dimanfaatkan sebagai waktu terakhir untuk mendapatkan simpatik masyarakat terhadap partai maupun perorangan seperti yang pernah dilaporkan Panwaslu Sumbar pada pemilu 2004. Selain itu, masa tenang rawan terjadinya “politik uang”, mungkin modusnya tidak hanya cash money, tapi juga dalam bentuk natura. Politik uang, dapat juga dikatakan bentuk lain kekarasan politik.
Pada saat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, partai akan mengutus saksi dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan agar KPPS tidak melakukan kecurangan yang merugikan partainya. Karena perubahan orientasi akibat penerapan suara terbanyak, sangat besar kemungkinan saksi juga akan ditumpangi kepentingan calon.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mana yang lebih didahulukan, kepentingan partai atau calon per calon? Atau untuk calon yang mana saksi akan berpihak? Sementara bayaran terhadap saksi akan lebih besar diberikan calon dibanding yang diperoleh dari partai. Kekerasan politik sangat mungkin terjadi antara partai dengan saksi, calon dengan saksi, saksi dengan KPPS, dan saksi dengan pemilih.
Puncak kekerasan politik mungkin terjadi pada saat penetapan alokasi kursi dan calon terpilih. Sebagaimana telah diilustrasikan di atas, selisih satu suara saja, seorang ketua atau pimpinan partai tidak terpilih karena kalah satu suara dengan calon di bawahnya. Jika pimpinan partai tersebut dengan ikhlas menerima kenyataan tersebut, maka tidak akan terjadi konflik. Tetapi apabila pimpinan partai tidak dapat menerima, maka calon terpilih dapat saja dipecat sebagai anggota partai secara semena-mena.
Begitu pula kekerasan politik mungkin terjadi pada saat pelantikan dilaksanakan. Mereka yang belum menerima kekalahan mungkin akan berusaha menghalang-halangi atau bahkan berupaya menggagalkan prosesi pelantikan.Semua kita punya kepentingan agar pemilu 2009 berjalan sukses tanpa dicederai tindakan kekerasan politik. Sehingga penerapan system penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak tidak melarutkan partai politik pada suasana persaingan antara calon, tapi juga memikirkan antisipasi potensi terjadinya kekerasan politik pada lima tahapan tersisa.

Tidak ada komentar: