Senin, 19 Januari 2009

Politisi Perempuan dan Suara Terbanyak

Oleh : Husni Kamil Manik

Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 merupakan era baru bagi perempuan khususnya politisi perempuan, karena pada proses pencalonan anggota DPR dan DPRD posisi perempuan mendapat proporsi yang baik, terutama pada pengaturan komposisi minimal 1 (satu) perempuan pada setiap 3 (tiga) orang calon sesuai dengan pasal 55 Undang-Undang (UU) No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan ini secara langsung telah mempengaruhi urutan penempatan calon dalam daftar yang diajukan partai. Minimal pada setiap daerah pemilihan (dapil), partai politik yang mengajukan lebih dari 2 (dua) calon harus menempatkan perempuan minimal sebagai calon nomor urut 3 (tiga).
Perempuan dianggap menjadi pihak yang diuntungkan dengan pengaturan pasal 55 tersebut. Begitu pula beberapa calon perempuan yang sempat berkomunikasi dengan saya, menyampaikan keinginannya memanfaatkan peluang tersebut agar mendapatkan posisi nomor urut yang terkecil dari partainya. Faktanya, hingga KPU menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dan DPRD, calon perempuan dominan menempati nomor urut 3 (tiga) dan sebagian yang lain berada pada nomor urut 1 (satu) dan 2 (dua). Paling tidak anggapan tersebut menguat sebelum Mahkamah Konsitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap pasal 214 pada UU No.10/2008 yang mengatur mekanisme penetapan calon terpilih, yang dominan menguntungkan calon dengan nomor urut terkecil.
Akibat penghapusan pasal 214 menyebabkan mekanisme penetapan calon terpilih tidak lagi menggunakan : (1) Proporsi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam internal partai, karena tidak ada lagi pengaturan prioritas terpilih berdasarkan proporsi perolehan suara 100% dan 30%, (2) Prioritas nomor urut terkecil baik pada pencapaian Proporsi perolehan suara 30% atau kurang. Kedua akibat tersebut dianggap secara serta-merta merubah mekanisme penetapan calon terpilih menggunakan suara terbanyak.
Apakah keinginan perempuan terpilih menjadi anggota DPR dan DPRD harus pupus dengan penggunaan mekanisme suara terbanyak? Apalagi mereka yang telah berada pada nomor urut 1, 2, dan 3?
Ada data yang menarik untuk menjawab pertanyaan yang seakan meragukan peluang perempuan untuk terpilih dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak. Data tersebut saya peroleh dari dokumen penetapan hasil penghitungan suara anggota DPR yang saat ini dipublikasi pula oleh KPU Sumbar pada website: http://kpu-sumbarprov.go.id.
Data tersebut adalah perolehan suara Hj.Farida Tanri Abeng yang dicalonkan Partai Golkar di Dapil Sumbar II pada Pemilu 2004. Oleh partainya, HJ.Farida diletakkan pada nomor urut 4, berada setelah ketiga calon yang keseluruhannya adalah laki-laki. Perolehan suara Hj. Farida adalah 40.943, lebih tinggi dari H.Djusril Djusan (nomor urut 2) 37.482, H. Darul Siska (nomor urut 1) 31.386, dan H.Andi Wahab Dt.Majo Kayo (nomor urut 3) 20.578.
Dengan total perolehan suara 256.355, Partai Golkar memperoleh 2 (dua) dari 6 (enam) kursi yang diperebutkan pada Dapil Sumbar II. Sehingga berdasarkan UU. No.12/2003, yang menggunakan metoda penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut, menetapkan H. Darul Siska-nomor urut 1 dan H.Djusril Djusan-nomor urut 2 (setelah meninggal digantikan H. Andi Wahab-nomor urut 3).
Perolehan suara Hj. Farida menarik dijadikan contoh bagi politisi perempuan dalam memupuk semangat berkompetisi. Nomor urutnya lebih rendah dari politisi perempuan partai lain di dapil yang sama seperti Hamidah Hamid (P.Demokrat-nomor urut 1), Hj. Salviyah Prawiranegara (PPIB-nomor urut 2), Hj.Nurdiati Akma (PAN-nomor urut 2), Ade Fitri Dona (PKPI-nomor urut 2), Silviya Wahyuni Harahap (PPNUI-nomor urut 2), Hj.Aisjatul Natsir (PBB-nomor urut 3), dan Dini Rahmani (PKB-nomor urut 3).
Tetapi perolehan suara Hj. Farida mengungguli rekan sejawatnya separtai yang laki-laki dan perempuan, begitu pula dengan sesama politisi perempuan dari partai lain. Bahkan perolehan suara Hj. Farida merupakan perolehan suara tertinggi pada Dapil Sumbar II. Mungkinkah prestasi politisi perempuan seperti Hj. Farida terulang kembali?
Selamat tinggal nomor urut, selamat datang politisi perempuan. Kompetisi pada Pemilu 2009 merupakan wahana merebut perhatian pemilih tanpa harus berlindung pada posisi nomor urut, di mana pun letaknya, politisi perempuan memiliki peluang yang sama dengan politisi laki-laki.

Tidak ada komentar: