Minggu, 10 Mei 2009

Dialog Imajiner Pemilu 2009

Oleh : Husni Kamil Manik
Pasca pemungutan suara tanggal 9 April 2009, masalah yang terjadi pada setiap tahapan Pemilu 2009, seakan menarik untuk dijadikan isu politik. Dengan mudah dapat diduga, mereka yang mempolitisir isu tersebut berasal dari kalangan politikus.
Lain halnya dengan mereka yang dikemukakan dalam tulisan ini. Karena saya akan memperbincangkan dua sahabat yang merupakan kolumnis di Sumatera Barat. Mereka berdua, telah menulis tema pemilu dalam satu hari yang sama, pada Hari Minggu/26 April 2009, diterbitkan pada dua media harian yang berbeda.
Sahabat saya yang pertama bernama Erizal, SS menulis pada kolom Langgam di Halaman satu Harian Singgalang dengan judul Menang dalam “Pemilu Terburuk”. Dan sahabat saya yang kedua bernama Ampera Salim (AS) Patimarajo menulis kolom Bakambang Kato di Halaman 12 Harian Padang Ekspres dengan judul Ampok Biduak.
Erizal menyampaikan pokok pikirannya pada alinea ketiga yaitu “kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), logistik pemilu yang centang perenang, strategi sosialisasi yang amburadul, dan seterusnya, adalah bagian dari kelemahan atau kebrengsekan penyelenggara Pemilu yang begitu bebal terhadap masukan pengamat dan kurang maunya mereka belajar dengan baik dan sungguh-sungguh terhadap para pendahulunya”.
Sementara Patimarajo menulis pada bagian kedua kolom Bakambang Kato, sebagai berikut : “ungkapan Minangnya Ampok Biduak. Arti ungkapan adalah seseorang yang tidak mau mengakui kesalahan. Atau tidak mau mengakui kekalahan. Seperti dalam pemilihan umum, umpamanya. Setelah penyelenggara selesai melaksanakan pemungutan suara dengan baik, tiba-tiba ada yang menuduh telah terjadi kecurangan. Malah Pemilu mintak diulang. Seolah-olah pengulangan itu akan membuat pihaknya pasti jadi pemenang. Mestinya berprasangka baik sajalah. Jika segala sesuatunya sudah berjalan sesuai dengan ketentuan. Jangan ada lagi sifat selalu curiga. Sebab, bila selalu tak puas, akan mengundang strs. Panik”.
Kedua sahabat saya ini merupakan kolumnis muda yang produktif. Pandangan yang tuangkan dalam tulisan pada saat ini, seakan pantang untuk tidak dimuat di media massa di Sumatera Barat. Dua pandangan ini, jelas berbeda kutub. Erizal seakan berada pada kutub negatif, sementara Patimarajo berada pada kutub positif.
Saya menduga pandang yang mereka tuangkan dalam tulisan masing-masing sudah melalui dialog monologis. Masing-masing melontarkan pertanyaan, dan masing-masing pula mencoba menjawab pertanyaan yang mereka buat sendiri.
Saya ingin memposisikan berada di tengah pendapat mereka. Kepada keduanya, saya ingin menyampaikan bahwa masalah yang terjadi pada setiap penyelenggara Pemilu merupakan suatu keprihatinan tersendiri. Tidak hanya pengamat atau kolumnis yang acap kali mengatasnamakan rakyat atau kepentingan yang dipersepsikan terzalimi, tapi juga merupakan sikap penyelenggara Pemilu.
Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU berobsesi melaksanakan tugasnya dengan baik. Obsesi tersebut bukan pepesan kosong. Seluruh tahapan manajemen telah maksimal diupayakan. Perencanaan program dan tahapan telah dirumuskan sesaat setelah UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD diterbitkan. Penggerakan terhadap sumberdaya yang dimiliki KPU pun telah dilakukan. Pengawasan dan evaluasi pun telah pula dilaksanakan.
Mendengar penjelasan tersebut, mungkin Erizal akan kembali bertanya, “kenapa masalah tetap saja ada? Misalnya masalah DPT, logistik, dan sosialisasi”.
“Ketiga masalah tersebut dan mungkin masalah yang lain tidak berdiri sendiri, akibat kesalahan manajemen Pemilu”, tangkas Patimarajo.
Proses DPT dimulai dengan penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah kepada KPU, 12 bulan sebelum penyelenggaraan pemungutan suara. Ketika proses pencocokan dan penelitian (coklit) dilakukan dari rumah ke rumah, KPU menggunakan jasa petugas PPS dan PPDP yang direkomendasikan oleh aparat pemerintahan setingkat lurah/kepala desa/wali nagari. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber data utama DPT Pemilu 2009, yang dianggap bermasalah.
Tentang masalah logistik, hal yang menjadi sorotan adalah tertukarnya surat suara, kurangnya surat suara, kurangnya formulir, kualitas tinta yang rendah dan lain-lain, terjadi akibat kinerja pihak ketiga yang mengadakan barang dan jasa. Karena dalam spesifikasi yang ditetapkan KPU sudah melalui pembahasan yang ketat.
Sementara untuk masalah sosialisasi sampai saat ini, tidak ada alat ukur yang pasti sebagai bahan untuk menilai tingkat kebermasalahan sosialisasi. “Andai kata semua warga Indonesia mendapat informasi tentang Pemilu, tapi mereka tidak punya pilihan politik, bagaimana mereka akan mau menggunakan haknya? Atau mereka sudah punya pilihan politik tapi pada saat yang bersamaan mereka harus memenuhi kebutuhan nafkahnya, bagaimana pula mereka akan menggunakan haknya”, tanya Patimarajo bersemangat.
Bukannya menjawab pertanyaan Patimarajo, Erizal justru kembali bertanya,” tapi kenapa para tokoh penting di negeri ini mendeklarasikan suatu kesepakatan bersama bahwa Pemilu 2009 ini adalah “Pemilu Terburuk” selama dua kali Pemilu yang telah dilaksanakan di zaman reformasi?
“Adakah yang berkumpul di sana, berasal dari partai pemenang pemilu 2009? Patimarajo balik bertanya.
Sebelum Erizal menanggapi pertanyaan balik Patimarajo, Saya pun menyela dialog mereka. Saya menjelaskan bahwa atas permasalahan yang terjadi, Ketua KPU Prof.DR.H.A.Hafiz Ansyari, MA, telah minta maaf. Hal itu berarti, secara kelembagaan sudah ada pengakuan kehilafan kinerja secara kelembagaan.
“jika kita ingin membandingkan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 dengan Pemilu sebelumnya, tentu membutuhkan waktu yang cukup. Tidak mungkin hanya satu atau dua hari setelah pemungutan suara”, jelas Patimarajo.
“Apalagi saat ini, kehidupan keseharian masyarakat tidak terpengaruh pada domain menang-kalah yang sedang dirasakan peserta pemilu. Masyarakat sudah dapat menerima hasil pelaksanaan Pemilu, dan elit poltik pun sudah sibuk membangun koalisi berdasarkan hasil Pemilu 2009”, lanjut Patimarajo.
Keberlanjutan dialog yang lebih interaktif antar pandangan tersebut, mungkin akan muncul analisis yang lebih berwawasan dan objektif. Pandangan Erizal yang dipersepsikan berada pada kutub yang negatif, secara bertahap akan dapat bergerak menuju kutub positif. Begitu pula sebaliknya dengan pandangan Patimarajo yang akan bergerak dari kutub positif ke kutub negatif. Maka dialog ini bisa disebut menjadi dialog imajiner yang akan dapat menghasilkan pandangan yang lebih berwawasan dan objektif menilai baik atau buruknya Pemilu 2009.
(diterbitkan harian Singgalang, 5 Mei 2009)

Tidak ada komentar: