Senin, 09 Februari 2009

Saatnya Pemilih Mencentang…..

Oleh : Husni Kamil Manik
Benarkah Pemilu 2009, pemilih tidak lagi mecoblos? Pertanyaan seperti ini, sering terdengar di tengah masyarakat, apalagi kalau sedang membicarakan Pemilu 2009. Tema pertanyaan yang sama, beberapa kali pula, digunakan lembaga survey yang bertujuan untuk mengungkap dinamika Pemilu 2009.
Misalnya, International Foundation for Election System (IFES) yang melakukan survey terhadap 2.500 responden. Respondennya tersebar pada 25 provinsi di Indonesia. Survey IFES dilaksanakan antara bulan Agustus dan September 2008 dengan menggunakan wawancara tatap muka. Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah apakah saudara tahu cara pemilihan yang diterima pada Pemilu 2009?
Pada tiga bulan berikutnya, tepatnya pada 16-26 Desember 2008, Lembaga Survey Indo Barometer melakukan survey tentang pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap Pemilu 2009. Survey juga dilaksanakan secara nasional, dengan mewawancarai 1.200 responden yang tersebar di 33 provinsi. Tema pertanyaan yang sama, tetap menjadi sentra isu.
Hasil survey terbaru, walaupun menggunakan metoda berbeda dengan dua survey di atas. Tetapi masih membahas tema yang sama, dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dan International Foundation for Election System (IFES) di Jakarta dan Purwakata.
Survey ini, menggunakan metoda simulasi yang melibatkan 400 relawan, terdiri dari 200 relawan berada di Jakarta, dan 200 relawan berada di Purwakarta. Kegiatan simulasi dilaksanakan antara bulan Desember 2008 dan Januari 2009.
Penerapan cara pemberian suara Pemilu 2009, untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. Tata cara demikian, diatur pada pasal 153 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Aturan pemberian suara, dengan memberikan tanda, merupakan ide baru. Memberikan tanda, telah merubah tata cara pemberian suara yang pernah digunakan, selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sembilan kali sudah pemilu dilaksanakan, satu kali pemilihan langsung presiden, satu kali pemilihan langsung gubernur, dan satu kali pemilihan langsung bupati/walikota, seluruhnya menggunakan cara mencoblos.
Sehingga, rakyat terlanjur mengidentikkan, “pemilu, ya mencoblos”. Kalau akan pemilu, mereka siap-siap untuk mencoblos. Lantas, Kenapa cara memberikan tanda diterapkan? Pada ayat berikutnya, dijelaskan bahwa memberikan tanda, berdasarkan pada prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam menghitung suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Bagaimana tanggapan masyarakat ketika cara mencoblos digantikan cara memberikan tanda? Hasil survey IFES pada Bulan Agustus dan September (lima bulan setelah UU diberlakukan), mengungkap mayoritas responden (84%) masih beranggapan Pemilu 2009 menggunakan metoda mencoblos. Sementara 10% responden menyatakan tidak tahu. Dan yang menjawab dengan benar dengan menandai, hanya 4% responden.
Setelah tiga bulan kemudian, Indo Barometer menemukan jumlah responden yang menjawab, mengetahui cara memilih pada Pemilu 2009 dengan menandai, meningkat menjadi 24,6%. Sementara responden yang menjawab mencoblos menurun menjadi 63%.
Pada bulan yang sama, Formappi dan IFES mengadakan simulasi pemungutan suara di Purwakarta. Relawan yang mengikuti simulasi tersebut sebanyak 200 orang. Relawan yang menggunakan cara memilih yang benar 63%. Sedangkan simulasi yang diadakan di Jakarta pada Bulan Januari 2009, relawan yang menggunakan cara memilih yang benar mencapai 45%.
Grafik persentase data di atas, menunjukkan adanya perkembangan positif akan pengetahuan masyarakat terhadap informasi mengenai cara memilih. Perkembangan ini, dapat dijadikan inspirasi bagi pelaksanaan sosialiasi pemilu hingga pemungutan suara dilakukan.
Hingga kini, kegiatan sosialisasi pemilu yang terlaksana, dominan melalui perantaraan media. Ada yang dilakukan KPU, ada juga yang dilakukan Depkominfo, dan ada juga yang dilakukan partai politik beserta calon anngota dewan. Penggunaan media masih dianggap sebagai cara yang paling efektif.
Sementara KPU, menjadikan cara menggunakan media sebagai salah satu dari tiga strategi sosialisasi. Dua cara yang lain adalah tata muka, dan kemitraan dengan pengelola jejaring organisasi massa, LSM, komunitas masyarakat, atau partai politik.
Dalam dua bulan ke depan, KPU akan melakukan ketiga strategi tersebut secara bersamaan. Penggunaan media tetap jalan terus, tatap muka akan dilakukan lebih massal di tingkat PPK, PPS dan KPPS. Sedangkan kemitraan dengan pengelola jejaring ormas, LSM, kommas dan parpol, juga akan terlaksana.
Ketiga strategi tersebut, akan digunakan untuk mensosialisasikan bahwa perubahan cara memilih pada Pemilu 2009 tidaklah sulit. Menandai atau yang diistilahkan dengan mencentang atau istilah lain, tidaklah sesuatu yang asing pada masyarakat.
Walau masyarakat sudah terbiasa dengan mencoblos, bukan berarti masyarakat tidak terbiasa menandai. Hanya mungkin bagi mereka yang belum paham tentang perubahan tersebut, dikarenakan mereka belum memperoleh informasi yang sesungguhnya.
Mencentang tidak menggunakan huruf, tapi simbol. Sehingga, pemilih yang buta huruf harusnya dapat mencentang sendiri pilihannya. Tapi kalaupun, pemilih tersebut tidak mampu akibat keterbatasan yang dideranya, ia dapat meminta bantuan orang lain yang dipercayanya.
Dengan demikian, kita berharap, semangat perubahan yang termuat dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu dapat terlaksana. Jika maksud itu tercapat, maka kita dapat menyatakan : Saatnya setiap pemilih, bisa menggunakan hak pilihnya secara tepat dengan cara mencentang.
(Terbit pada Teras Minggu, Harian Padang Ekspres, 8 Februari 2009)

Tidak ada komentar: