Minggu, 30 November 2008

Penyuluh Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Tingkat partisipasi rata-rata pemilih yang menggunakan hak pilih pada pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumatera Barat (Sumbar) lebih rendah dari tingkat partisipasi rata-rata pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) menggunakan hak pilihnya pada pilkada di Sumbar rata-rata 66% sedangkan pada pemilu DPR,DPD dan DPRD mencapai angka 75%.
Jika kita mengamati waktu pelaksanaan pemilu yang lebih dahulu pelaksanaannya dibanding pilkada baik untuk pemilihan gubernur, walikota dan bupati di Sumbar, maka angka rata-rata partisipasi pemilih yang menggunakan haknya menunjukkan tren yang menurun. Sebagai contoh lain tren penurunan angka partisipasi dapat terlihat pada pemilihan Walikota Padang yang baru usai 23 Oktober 2008 yang lalu adalah 57% menurun dibandingkan dengan pemilu 2004 yang mencapai angka 65%.
Bagaimana pun kita harus optimis bahwa partisipasi pemilih pada pemilu 2009 mendatang berpotensi meningkat. Sebagai alasan sikap optimis itu berdasarkan hasil survey yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) pada bulan Oktober 2008 dengan responden yang menyebar di seluruh Indonesia, menemukan hanya 3% responden yang menyatakan memastikan tidak ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 2% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 2% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Sementara persentase yang telah memastikan akan ikut memilih lebih besar dibandingkan yang telah memastikan tidak ikut memilih. Sebanyak 13% responden yang menyatakan memastikan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 14% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 13% untuk calon anggota DPRD Kebupaten/Kota.
Mereka yang telah memastikan sikapnya menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dapat diasumsikan sulit atau bahkan tidak terpengaruh lagi dengan situasi apapun namun jumlah mereka yang bersikap seperti itu jauh lebih kecil dari mereka yang masih bersikap ragu-ragu dan mudah berubah pilihan (swing voter). Walaupun sikap ragu-ragu mereka lebih cenderung kepada sikap kemungkinan ikut serta dalam pemungutan suara. Mereka yang bersikap ragu-ragu menunjukkan angka 84% responden kemungkinan ikut memilih calon anggota DPR, sebanyak 84% untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan 85% untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Sikap yang diungkapkan responden tersebut mereka ungkapkan pada saat menurut mereka upaya penyebaran informasi kepemiluan sangat minim. Karena hanya 2% responden menyatakan informasi pemilu pada saat itu sangat banyak dan 12% responden menyatakan informasi yang telah ada adalah banyak. Selebihnya 54% responden menyatakan informasi kepemiluan masih sedikit dan 26% responden merasa tidak memperoleh informasi sama sekali dan 6% responden tidak tahu atau tidak mau menjawab.
Penilaian rendahnya penyebaran informasi kepemiluan yang dinyatakan responden, diurai dengan jawaban responden akan pengetahuan mereka tentang tanggal pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Sebanyak 61% responden menjawab tidak tahu, 12% responden menjawab tahu tapi hanya bulan saja dan selebihnya 27% salah menjawab bulan pelaksanaan pemungutan suara.
Bercermin pada data tersebut, maka adalah sangat beralasan ketika banyak pihak tetap saja meramalkan akan berlanjutnya tren penurunan partisipasi pemilih pada pemilu 2009. Mereka masih mengasumsikan bakal berlanjutnyanya tren penurunan partisipasi disebabkan masih kurangnya pelaksanaan sosialisasi KPU kepada masyarakat.
Pengertian sosialisasi yang digunakan resmi oleh KPU dalam Peraturan KPU No.23 tahun 2008 Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Proses penyampaian informasi atau sosialiasi pemilu tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold D Laswell berpendapat bahwa untuk melakukan komunikasi beberapa komponen harus tersedia. Komponen komunikasi lanjutnya adalah komunikator (orang yang menyampaikan informasi), informasi (bahan yang disampaikan), perantara (media yang digunakan), komunikan (orang yang menerima informasi), dan dampak/efek (suasana yang terjadi akibat terjadinya proses komunikasi, bisa baik atau buruk).
Kelima komponen komunikasi Laswell satu sama lain saling berhubungan, sehingga jika salah satu komponen terabaikan maka komunikasi tidak akan berlangsung. Tanpa mengurangi arti komponen yang lain, keberadaan komponen komunikator merupakan faktor utama yang harus memahami komponen lain seperti informasi, perantara/media, komunikan dan dampak/efek.
Sehingga komunikator dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu atau dapat kita sebut penyuluh pemilu, harus memiliki pengetahuan kepemiluan sebagai sumber informasi, mengerti tentang pilihan media yang efektif, memahami kelompok sasaran dan dapat memprediksi dampak baik dan buruk akibat pelaksanaan sosialisasi.
Karena penyelenggara pemilu di semua tingkatan merupakan orang-orang terpilih dari kalangan yang memiliki latar pendidikan yang baik, maka sesungguhnya dapat dinyatakan bahwa seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS berpotensi sebagai penyuluh pemilu.
Jika asumsi ini yang kita pakai, maka pada pemilu 2009 mendatang, di Sumatera Barat terdapat 83.868 orang tenaga penyuluh pemilu, terdiri dari 45 orang di tingkat provinsi (5 anggota dan 40 staf), 475 orang di tingkat kabupaten/kota (95 anggota dan 380 staf), 1.328 orang di tingkat kecamatan (830 anggota dan 496 staf), 10.095 orang (6.057 anggota dan 4.038) di tingkat kelurahan/desa dan nagari, serta 71.925 orang di tingkat RT/RW/jorong sebutan lain.
Jumlah potensial tenaga penyuluh pemilu ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tenaga penyuluh yang digerakkan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, seperti penyuluh pertanian, penyuluh KB, penyuluh kehutanan, penyuluh agama, dan penyuluh koperasi. Dan jumlah ini kemungkinan juga bertambah apabila usulan KPU Sumbar menyangkut penambahan TPS bisa dikabulkan KPU.
Namun sedikit disayangkan, kegiatan sosialisasi yang dibiayai APBN hanya sampai tingkat PPS di kelurahan/desa/nagari. Sehingga pemanfaatan tenaga penyuluh pemilu di KPPS yang berada pada tingkat RT/RW/jorong atau sebutan lain tidak dapat dimaksimalkan karena ketiadaan anggaran. Hal ini perlu menjadi pikiran bersama antara KPU provinsi/kabupaten/kota dengan pemerintahan daerah untuk dapat dicarikan solusinya.
KPU sebagai penyelenggara pemilu memang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sosisalisasi kepada masyarakat sesuai dengan pasal 8 ayat 1 huruf q undang-undang No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Tetapi undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat (pasal 244 ayat 1). Partisipasi masyarakat yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu (pasal 244 ayat 2).
Merujuk pada dua undang-undang tersebut, dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab tersosialisasinya penyelenggaraan pemilu tentu bukan hanya tanggung jawab KPU semata. Akan tetapi KPU dapat melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luas sebagai pelaksana sosialisasi. Batasan masyarakat pada konteks ini dapat dimaknai berasal dari perorangan, komunitas, dan organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya pada pasal 244 ayat 2, diatur ketentuan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sosialisasi sebagai berikut : tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu,bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan mendorong terwujudnya pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Andai kata masyarakat juga secara sukarela mau menjadi relawan penyuluh pemilu, maka mungkin pada pemilu 2009 mendatang, tidak akan lagi keluhan tentang sosialisasi yang kurang. Jika kegiatan sosialisasi telah berjalan secara maksimal, sedangkan partisipasi pemilih masih saja belum memuaskan, maka wajarlah kiranya kita mempertanyakan faktor apa yang menjadi penyebabnya.
(Terbit dalam bentuk wawancara pada Harian Postmetro Padang dan dalam bentuk artikel pada Harian Singgalang)

Tidak ada komentar: