Selasa, 23 Desember 2008

Habis "curi start", terbitlah "matre"

Oleh : Husni Kamil Manik
Lima tahun yang lalu, pada saat masa kampanye belum tiba, pemberitaan media massa cetak dan elektronik gencar memberitakan kegiatan partai politik dan perorangan yang melakukan kegiatan “sejenis” kampanye tidak dalam jadwal kampanye yang telah ditetapkan bersama KPU dengan menggunakan istilah “curi start”.
Tema pemberitaan “curi start” dipergunakan untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa partai politik dan perorangan yang melaksanakan kegiatan “sejenis” kampanye itu telah melakukan kecurangan, sebab jadwal pelaksanaan tahapan kampanye sesungguhnya belum tiba.
Konfirmasi berita yang diperoleh dari pihak penyelenggara, biasanya menyebutkan bahwa kegiatan yang dilakukan bukanlah kampanye, kegiatan yang dilaksanakannya hanyalah pertemuan kader, rapat partai, pembekalan dan silaturahmi. Tetapi semua peserta pemilu berhasrat untuk melakukan hal yang sama sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Namun terkadang isu “curi start” berakhir dijalur hukum, misalnya Drs.Erman Ali yang melakukan kampanye sebelum masuknya jadwal kampanye. Pengadilan Negeri Payakumbuh menerbitkan putusan No. 15/Pid.B/2004 dengan amar putusan pidana denda sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) subsider 15 hari kurungan (Laporan Panwaslu Sumbar 2004).
Berdasarkan UU No.12/2003 tentang Pemilu, menyatakan bahwa kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya.
Kampanye pemilu dilakukan melalui : pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media massa cetak dan elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televise, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar perundang-undangan.
Seluruh jenis kegiatan kampanye tersebut dilakukan oleh peserta pemilu selama 3 (tiga) minggu dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Sempitnya waktu pelaksanaan kampanye pemilu 2004 ditenggarai sebagai alasan peserta pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye “curi start”.
Peraturan pelaksanaan kampanye pada Pemilu 2009 telah berubah, seiring terbitnya UU No.10/2008 tentang Pemilu yang menggantikan UU No.12/2003. Perubahan peraturan tersebut terletak pada jadwal pelaksanaan kampanye. Kegiatan kampanye telah boleh dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah partai politik dan perorangan dinyatakan sebagai peserta pemilu. Sementara penetapan partai politik sebagai peserta pemilu telah dilakukan pada tanggal 7 Juli 2009. Berarti waktu kampanye yang boleh silakukan hampir 9 (Sembilan) bulan.
Penjadwalan kampanye ini, berlaku untuk semua jenis kampanye kecuali untuk kampanye dengan metoda rapat umum yang bersifat terbuka. Perubahan aturan ini, membuka peluang bagi partai politik dan politisi untuk melakukan kampanye yang lebih panjang tanpa khawatir lagi terkena tuduhan “curi start”.
Akan tetapi, keleluasaan berkampanye yang diakomodir undang-undang belum termanfaatkan partai politik dan politisi secara menyeluruh. Beberapa fakta lapangan memperlihatkan adanya dominasi partai politik dan politisi tertentu dalam kegiatan kampanye. Misalnya pemasangan alat peraga kampanye di tempat-tempat strategis dan pemuatan iklan di media massa.
Partai politik dan politisi yang memiliki keuangan yang banyak, telah mendominasi pemasangan alat peraga kampanye di daerah perkotaan sampai daerah terisolir, dari ukuran bendera sampai ukuran bilbord yang biasa dipakai untuk iklan produk tertentu yang bersifat bisnis. Mereka juga telah mendominasi iklan media massa cetak dan elektronik. Dominasi mereka bahkan terkadang melampaui jumlah iklan bisnis yang termuat.
Fakta lain yang dapat dikemukakan adalah hingga 6 (enam) bulan kampanye boleh dilaksanakan, masih ada partai politik yang belum menyerahkan daftar Tim Kampanye dan nomor rekening kampanye ke KPU Sumbar.
Kemudian tidak adanya Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang diterima oleh kepolisian tentang kegiatan kampanye tatap muka yang bersifat tertutup. Fakta ini paling tidak terjadi hingga 5 (lima) bulan setelah kampanye boleh dimulai.
Kondisi ini sepertinya anti klimaks dengan isu yang berkembang pada pemilu 2004, tentang “curi start”. Dalam logika saya, kesempatan yang telah diberikan undang-undang akan termanfaatkan secara maksimal oleh partai politik dan politisi untuk berkampanye. Mereka harusnya sudah melakukan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat secara langsung, walaupun sifatnya masih terbatas. Tetapi hal tersebut tidak terjadi, kenapa?
Pertanyaan yang muncul tersebut, telah coba kami tanyakan kepada beberapa politisi di Padang, mereka menjawab bahwa kondisi tersebut terjadi karena perubahan perilaku masyarakat dalam menanggapi kegiatan politik khususnya kampanye, dan perubahan itu menghambat proses pelaksanaan kampanye. Perilaku yang dimaksud adalah respon masyarakat yang acap kali memberi syarat politisi yang datang dengan ukuran “material”, terutama dalam bentuk “cash money”.
Perilaku tersebut menjadi isu baru yang hangat diperbincangkan, karena menghambat para politisi yang tidak memiliki keuangan yang cukup. Sementara jumlah mereka mendominasi calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang bertarung pada pemilu 2009. Sebagai contoh seorang teman saya yang ikut mencalonkan diri untuk anggota DPRD Sumbar, mengatakan,”rekening kampanye saya sekarang (bulan Desember 2008) tinggal Rp.80.000 (delapan puluh ribu rupiah), sementara pemilu masih akan dilakukan 3 (tiga) bulan ke depan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi”.
Isu baru yang menyangkut tentang pelaksanaan kampanye ini, seakan menimbulkan kesan dengan semboyan “No Money, No Campaign”. Sehingga penambahan jadwal kampanye yang telah diatur dalam undang-undang hanya bisa dimanfaatkan partai politik dan politisi yang kaya, dan menimbulkan masalah bagi yang tidak memiliki keuangan yang memadai.
(Terbit di Harian Singgalang, 23 Desember 2008)

Tidak ada komentar: