Kamis, 25 Desember 2008

Revitalisasi Strategi Sosialisasi Pemilu

Oleh : Husni Kamil Manik
Kegiatan sosialisasi tidak masuk dalam sepuluh tahapan Pemilu 2009. Tetapi sosialisasi merupakan salah satu program yang dirancang untuk keperluan suksesnya pelaksana dan pelaksanaan pemilu. Sehingga adalah menjadi kepentingan bersama bagaimana caranya agar program sosialisasi yang dilaksanakan pada pemilu 2009 berlangsung efisien dan efektif.
Tulisan Bung Isa (M.Isa Gautama) dalam harian ini, pada tanggal 23 Desember 2008 yang berjudul sosialisasi pemilu merupakan bahagian partisipasi beliau untuk memperkuat konsepsi pelaksanaan program sosialisasi dengan memasukkan pendekatan strategi komunikasi transaksional dalam bahagian yang integral.
Sumbangsih pemikiran Bung Isa bagi saya dan KPU adalah penting, karenanya saya berkeinginan untuk mengadopsi pemikiran itu lebih proporsional agar penggunaan pendekatan komunikasi transaksional benar-benar menjadi warna baru dalam konsepsi strategi sosialisasi pemilu 2009. Untuk tujuan tersebut saya akan mengurai kembali beberapa bahagian tulisan yang menjadi bahan Bung Isa dalam menilai strategi sosialisasi yang diatur KPU.
Pengertian sosialisasi yang digunakan resmi oleh KPU dalam Peraturan KPU No.23 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Konsepsi proses penyampaian informasi atau sosialiasi pemilu tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold D Laswell berpendapat bahwa untuk melakukan komunikasi beberapa komponen harus tersedia. Komponen komunikasi lanjutnya adalah komunikator (orang yang menyampaikan informasi), informasi (bahan yang disampaikan), perantara (media yang digunakan), komunikan (orang yang menerima informasi), dan dampak/efek (suasana yang terjadi akibat terjadinya proses komunikasi, bisa baik atau buruk).
Kelima komponen komunikasi Laswell satu sama lain saling berhubungan, sehingga jika salah satu komponen terabaikan maka komunikasi tidak akan berlangsung. Namun tanpa mengurangi arti komponen yang lain, keberadaan komponen komunikator merupakan faktor utama yang harus memahami komponen lain seperti materi informasi, perantara/media, komunikan, dan dampak/efek.
Sehingga komunikator dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu atau dapat kita sebut penyuluh pemilu, harus memiliki pengetahuan kepemiluan sebagai sumber informasi, mengerti tentang pilihan media yang efektif, memahami kelompok sasaran dan dapat memprediksi dampak baik dan buruk akibat pelaksanaan sosialisasi.
Saya hanya bisa menduga, Bung Isa menganggap pendekatan komunikasi dalam melaksanakan sosialisasi pemilu masih bersifat linier dan tidak transaksional, pada dua hal : pertama, penggunaan isitilah penyuluh pemilu, dan kedua, ketika saya pada bahagian alinea berikutnya mewacanakan bahwa seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS berpotensi sebagai penyuluh pemilu.
Dugaan tersebut saya buat karena Bung Isa tidak menjelaskan lebih rinci pada bahagian mana pada tulisan itu yang mengesankan bahwa pendekatan komunikasi sosialisai pemilu 2009 masih linier. Dugaan tersebut juga saya buat tanpa mengurangi nilai penting dari sumbangsih pemikiran Bung Isa.
Saya sengaja menggunakan istilah penyuluh pemilu bagi komunikator pemilu, karena istilah penyuluh sudah lazim digunakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Dengan menggunakan istilah penyuluh diharapkan masyarakat cepat memahami peran yang dilakoni komunikator pemilu.
Kembali kepada pendapat Laswell, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan dasar berkomunikasi yang baik, memahami materi, mengenali kelompok sasaran, menggunakan media yang tepat, dan dapat menduga dampak yang muncul dari hasil komunikasi termasuk adanya umpan balik dari komunikan.
Menurut saya, seorang penyuluh tidak akan melakukan monopoli kebenaran dengan memposisikan dirinya sebagai sumber kebenaran. Akan tetapi sebagai komunikator, seorang penyuluh harus mampu menjelaskan tentang kebenaran informasi yang disampaikan. Dan menganalisis kebenaran fakta yang diterimanya di lapangan. Pada posisi tersebut, saya berpendapat seorang penyuluh akan mampu menggunakan pendekatan transaksional.
Dalam konteks sosialisasi pemilu, penempatan seluruh jajaran penyelenggara pemilu sebagai penyuluh pemilu adalah hal yang tepat. Sebab, sebagai penyelenggara pemilu anggota KPU, PPK, PPS dan KPPS harus memahami program dan tahapan pemilu lebih baik dari pihak lain. Karena dalam proses rekrutmen tenaga penyelenggara harus selalu memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang. Seperti persyaratan pendidikan minimal SLTA, memiliki wawasan mengenai kepemiluan dan ada prioritas bagi yang memiliki pengalaman.
Apalagi KPU, PPK dan PPS sebagai penyelenggara pemilu memang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sosisalisasi kepada masyarakat sesuai dengan pasal 8 ayat 1 huruf q, pasal 9 ayat 1 huruf n, pasal 10 ayat 1 huruf o, pasal 44 huruf l, dan pasal 45 huruf p undang-undang No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Di samping itu, daya jangkau penyelenggara pemilu langsung menyentuh masyarakat dengan merata.
Aturan tersebut membuka peluang bagi KPU melakukan revitalisasi strategi sosialisasi, terutama yang berhubungan dengan prioritas pelaksana sosialisasi dari menghandalkan kekuatan masyarakat sipil pada pemilu 2004 menjadi pengoptimalisasi jajaran penyelenggara pemilu hingga tingkat PPS pada pemilu 2009.
Tetapi undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat (pasal 244 ayat 1). Partisipasi masyarakat yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu (pasal 244 ayat 2).
Penerapan UU No.10/2008 tersebut, menjadi dasar KPU melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luas sebagai pelaksana sosialisasi. Batasan masyarakat pada konteks ini dapat dimaknai berasal dari perorangan, komunitas, organisasi kemasyarakatan dan organisasi non pemerintah.
Pada bahagian lain, undang-undang No.2 tahun 2008 tentang partai politik juga mengatur kewajiban partai politik untuk melakukan pendidikan politik (pasal 13 huruf e) di samping melakukan kegiatan sosialisasi program kerja partai politik. Pihak partai politik dan politisi merupakan pemangku kepentingan (stakeholders) utama bagi terselenggaranya sosialisasi pemilu yang efektif dan efisien karena berhubungan langsung terhadap perolehan suara mereka.

Kesimpulan
Pertama, sesungguhnya apa yang disebut Bung Isa dengan istilah tiga pilar pemilu (KPU, peserta pemilu, dan pemilih), secara mendasar telah diakomodasi undang-undang untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu. Dasarnya adalah UU No.22/2007 untuk KPU, UU No.2/2008 untuk partai politik, dan UU No.10/2008 untuk masyarakat/pemilih.
Kedua, siapa pun berpotensi untuk menjadi komunikator pemilu atau penyuluh pemilu. Tetapi sebagai penyelenggara pemilu KPU beserta jajarannya harus lebih potensial menjadi komunikator pemilu karena tanggungjawabnya.
Ketiga, dengan kemampuan yang dimiliki personil jajaran KPU, penerapan pendekatan komunikasi dengan model transaksional bukan merupakan hal yang baru. Karena setiap kali menjalankan tugas, PPK, PPS dan KPPS berhubungan langsung dengan masyarakat. Sehingga model komunikasi yang terbangun dapat dipastikan tidak lagi linier tapi sudah transaksional. Apalagi masyarakat minangkabau sudah terbiasa dengan dialog, seperti yang biasa terlihat pada suarau dan lapau.
Keempat, revitalisasi strategi sosialisasi telah dilakukan KPU paling tidak pada dua hal, yaitu perubahan pelaku utama komunikator sosialisasi dan penyempurnaan konsepsi sosialisasi yang tertuang pada peraturan KPU No.23 tahun 2008.
Andai kata masyarakat juga secara sukarela mau menjadi relawan penyuluh pemilu, maka mungkin pada pemilu 2009 mendatang, tidak akan lagi keluhan tentang sosialisasi yang kurang. Jika kegiatan sosialisasi telah berjalan secara maksimal, sedangkan partisipasi pemilih masih saja belum memuaskan, maka wajarlah kiranya kita mempertanyakan faktor apa lagi yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih.

Tidak ada komentar: